Senin, 25 Februari 2013

Komisi I Minta TNI & Polri Sinergi Hadapi Separatis Informasi intelijen yang didapat harus diolah. Bikin keputusan segera. TNI dan Polri sudah semestinya kompak dalam menghadapi para separatis.

Rakyat Merdeka (24-02-2013, Hal. 06)
Kalangan DPR gregetan de­ngan sikap Panglima TNI Laksa­mana Agus Suhartono. Komisi Pertahanan DPR mendesak Panglima (TNI) datang ke Papua langsung. "Ini Panglima TNI kenapa ti­dak segera ke Papua. Ini delapan orang mati, jumlah yang besar," kata Wakil Ketua Komisi I DPR, TB Hasanuddin, kemarin. Politisi PDI Perjungan ini mengatakan, dalam kasus kelom­pok bersenjata, intelijen sebenar­nya sudah memberikan infor­masi. Sayangnya, sebut dia, infor­masi yang sudah didapat itu tidak diikuti dengan kebijakan taktis.

"Aparat sudah tahu; lokasi, ke­kuatan, bahkan sudah komuni­kasi langsung dengan kelompok bersenjata. Namun, dari infor­masi yang diolah itu tidak dibuat kebijakan. Apa mau disergap, apa mau nego. Ini tidak ada perintah apa pun," ungkapnya. Menurut pensiunan Mayor Jenderal TNI ini, persoalan di Papua sangat kompleks. Bukan hanya ekonomi, diskriminasi, tapi juga persepsi masyarakat perlu diper­baiki. Dia berharap TNI dan Polri bisa bekerjasama guna menekan konflik dan separatisme yang tak kunjung hilang.

"Masalah di Papua bukan se­batas hanya kekerasan dan masa­lah keamanan. Tapi akar masalah­nya ada di ekonomi, di mana dana otonomi khusus dikorupsi oleh elit pusat dan daerah." Berdasarkan pantauannya se­lama ini, kata Hasanuddin, TNI dan Polri masih berjalan sendiri-sendiri. Begitu juga dengan se­jumlah kementerian dan lembaga Negara lainnya. "Mereka tidak sinergis. Akibatnya, masalah itu tak kunjung selesai dan aparat yang jadi target operasi kelompok bersenjata."

Terpisah, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Hanura, Susaningtyas Nefo Handayani Kertapati menyesalkan tewasnya dela­pan TNI di Papua. Dia menilai, peristiwa berdarah itu sebagai bentuk kecolongan intelijen. "Seharusnya peristiwa sema­cam tersebut tidak terulang lanta­ran hal serupa pernah terjadi. Sis­tem deteksi dini di sektor intelijen masih belum efektif," katanya. Sekalipun begitu, dia berharap, TNI tidak bersikap reaktif atas kejadian ini. Dia mengingatkan, reaksi yang berlebihan justru ha­nya akan mengangkat Papua ke dunia internasional.

Saat ini, kata Nuning, sapaan Susaningtyas, peningkatan jum­lah senjata di Papua menjadi ancaman bagi pemerintah. Dia bi­lang, bila tidak serius memberi­kan solusi secara komprehensif terhadap semua persoalan di sana, Papua akan terus bergolak. "Eskalasi kasus senjata ini su­dah lama terjadi dan akan ber­langsung selama pemerintah tak berikan solusi soal Papua. Sam­pai sekarang belum ada konsep solusi yang komprehensif, bermartabat dan damai," imbuhnya.

DPD Sudah Kasih Rekomendasi
Terpisah, Wakil Ketua DPD La Ode Ida mengatakan, sebe­lum terjadinya insiden penembakan, kalangan senator sudah memperingatkan pemerintah. Peringatan tersebut berupa hasil rekomendasi yang dibuat Pansus Papua DPD. "Sudah kami sampaikan bahwa pemerintah perlu berdialog. Tapi rekomendasi ini selalu diabaikan. Aceh selesai dengan dialog, ke­napa Papua tidak? Ini diskrimi­nasi. Cobalah pemerintah ajak mereka berdiskusi," katanya.

Agar kasus ini tidak merembet semakin besar. La Ode menya­rankan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selaku pemegang ke­kuasaan, menggelar dialog de­ngan para kelompok bersenjata agar persoalan Papua bisa segera selesai. "Kami melihat ke belakang, su­dah sering terjadi (penembakan). Setidaknya sudah ada 50 orang ditembak hingga tewas tahun lalu. Problemnya adalah kenapa tidak diselesaikan? Ini perta­nyaan mendasar yang perlu dija­wab pemerintah," kata senator Sulawesi Tenggara ini. Wakil Ketua DPRD Papua Ba­rat Jimmy Demianus Ijie menga­takan, kasus penembakan 8 anggota TNI hanyalah masalah di permukaan Papua. Jimmy menu­turkan, warga Papua hingga kini masih belum merasakan kemer­dekaan. (SIS/QAR) Sumber: Koran Rakyat Merdeka