Senin, 18 Februari 2013

Sipil Militer Dalam Politik Kita


Suara Pembaruan (18/02/13, Hal 6)
Kehadiran Jenderal Soeharto sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia pada 1968 disambut dengan kepala menunduk, seo­lah warga masyarakat di seluruh negeri sedang mensyukuri ber­kah dari langit, yang diterjemahkan dalam bahasa politik yang manipulatif dan penuh kultus: berkat "kesaktian Pancasila". Dalam setiap pidato resmi, setengah resmi atau sama sekali tidak resmi, hampir semua pejabat negara mengukuhkan pidatonya dengan mengutip "Kesaktian Pancasila" tadi. Bahkan pidato seorang kepala desa, yang merasa lebih terpelajar dibanding­kan semua warga masyarakat­nya, juga menyebutkan "Kesakti­an Pancasila". Pejabat tinggi di Jakarta memesona rakyat de­ngan sikap manipulatif, berbau kultus "Kesaktian Pancasila". Kepala desa di daerah-daerah menelan sikap manipulatif dan kultus itu tanpa mengunyah karena di zaman itu orang yang mencoba mengunyah (bersikap kritis) terhadap pidato pejabat tinggi dianggap PKI dan pasti disikat habis tanpa jejak oleh operasi militer yang rapi jali, yang dikomandoi dari atas untuk membersihkan anasir anti Pancasila.

Pada 1971 ketika Jenderal Soeharto yang hanya meme­gang mandat sebagai pejabat presiden ingin lebih mengukuh­kan kedudukan sebagai pre­siden, diadakanlah pemilihan umum yang sudah pasti men­jamin kemenangan beliau ka­rena jiwa seluruh bangsa masih terpesona terus terhadap ke­saktian Pancasila dan kewiba­waan Pak Harto yang berhasil memulihkan kesaktian Panca­sila tadi. Begitu resmi meme­gang jabatan presiden.isi pidato penuh dengan kata pembangun­an. Sebentar-sebentar demi pembangunan. Rakyat dibung­kam demi pembangunan. Rak­yat digusur demi pembangun­an. Dunia politik disuruh me­nyederhanakan partai, demi pembangunan.

Ketika kata demi pembangun­an sudah mapan dan rakyat juga terpesona, sambil merasa ngeri terhadap kemungkinan ditindak diam-diam, kekuatan politik sipil nyaris tak terdengar. Semua me­nunduk, menanti "titah" beliau, sebaiknya kata penuh pesona apa lagi yang harus disampaikan di kalangan masyarakat. Dan ke­mudian kata stabilitas menjadi mantra suci. Sebentar-sebentar terdengar pidato beliau menye­but: demi stabilitas pembangun­an. Maka benak seluruh rakyat Indonesia, dari Sabang hingga Merauke, bernyanyi sambil setengah optimistis setengah me­nangis tentang stabilitas pem­bangunan itu.

Tak ada orang berani me­nolak Pak Harto. Apa pun alas­annya, Pak Harto didukung, sambil mulai ditakuti. Kultus itu buruk, tidak sehat, dan mani­pulatif. Tapi konstelasi politik nasional kita penuh kultus dan manipulasi macam itu. Bahkan, sekali lagi, kepala-kepala desa di seluruh Tanah Air mengikuti kultus dan manipulasi politik itu tanpa pernah menyadari betapa buruk sikap politik yang ditirunya bagi kesehatan pan­dangan politik warga masyara­kat. Bertahun-tahun hidup da­lam bius politik manipulatif, tapi hampir tak ada yang me­nyadarinya. Semua menunduk. Semua patuh. Semua taat.

Pak Harto memiliki kekuasa­an dan menggunakan kekuasa­annya. Akhirnya beliau mabuk dalam permainan yang dibuatnya sendiri. Pemerintahannya berlangsung sangat lama. Warna militernya sangat kentara dan dunia Barat menyebutnya pemerintahan militeristis. Beliau galak, bisa sangat kejam, meng­hilangkan orang, menyingkir­kan lawan politik tanpa jejak. Dan semua berjalan efisien. Apa gunanya efisien yang tak di­sertai akuntabilitas publik?.

Maka, ketika beliau diganti, dunia kita seperti meledak pe­nuh kelegaan. Tapi juga penuh kebingungan dan rasa frustrasi. Jiwa demokrasi menyala-nyala dan demi demokrasi Habibie me­nyerahkan Timor Timur untuk hidup bebas, tak peduli perjuang­an mempertahankannya begitu penuh darah mengucur bukan hanya menetes, jiwa-jiwa melayang, tangan buntung, kaki buntung, cacat berat permanen yang tak tertolong, semua men­jadi korban bukan untuk apa-apa. Bukan untuk siapa-siapa. Inilah korban perang, untuk sebuah kesia-siaan. Militer kita dicemooh dunia, terutama yang paling tengil Australia, dan kita menjadi seperti tikus got yang terhina.

Habibie tidak punya siasat politik. Tidak punya metafora. Tidak ada pesona.Tak ada orang merasa segan. Semua presiden 'Sesudahnya orang sipil yang ber­semangat mengembalikan supremasi sipil. Padahal, ter­nyata, supremasi sipil bukan jawaban bagi dominasi militer yang begitu lama menindas. Orang lalu berpikir, sebaiknya? Kita mencari pemimpin militer yang demokratis dan itu yang dianggap jalan keluar terbaik. Kita tak senang militer gaya Pak Harto,lalu kita cari jenderal yang lain. Kita tak senang demokrasi tercekik, kita hadirkan jenderal yang mengerti demokrasi.

Sampai pada titik ini jelas, di negeri kita dikotomi sipil-milter tak berlaku lagi. Isu militer dalam politik dianggap tak lagi relevan. Tapi ketika jenderal demokratis ini hadir di panggung politik bukan untuk me­mainkan peran politik yang di­harapkan, orang pun bosan se­tengah mati dan marah. Pemimpin harus bekerja keras dan bertanggung jawab. Tidak boleh berkeluh kesah. Memanggul mandat konstitusi memang berat dan jerih payah itu tak ada artinya dibandingkan dengan kesejahteraan rakyat. Keluh kesah tak ada gunanya. Di depan rakyat yang susah, jangan per­lihatkan kesusahan. Ini bukan sikap pemimpin.

Maka, muncullah aspirasi politik baru: mencari pemimpin yaiig tegas, penuh tanggung jawab, dan berani mengambil risiko. Pendeknya kita mencari pemimpin yang mau bekerja dan rela berkorban perasaan, tenaga, dan pikiran. Selebihnya, tidak korup. Tidak kejam. Tidak menghilangkan nyawa orang demi pembangunan. Untuk siapa pembangunan kalau warga negaranya dimatikan? Banyak kalangan  berpendapat  dan memprotes, membunuh satu orang sama dengan membunuh keseluruhan kehidupan ini.

Kita seperti dihadapkan pada lakon membasmi Dasamuka de­ngan menggunakan kesucian Batara Rama yang tanpa pamrih, selain menegakkan kehidupan itu sendiri dengan keadilan yang nyata dan mengedepankan kemanusiaan di dalam tatanan sosial-politik kebudayaan yang berkeadilan. Sebelum sampai ke sini diperlukan tokoh yang tegas, yang bisa, atau dianggap bisa menjamin terlaksananya aspi­rasi mulia ini. Jawaban muncul dari sebuah polling, yang dibuat oleh Kelompok Studi Pembangunan Sosial Politik, dari UI. Polling ini menggambarkan preferensi mahasiswa, yang disebut Young Intellectuals, dari tujuh kota besar di selurah Tanah Air. Polling dilakukan dengan cara ilmiah dan menempuh prosedur ilmiah baku, tidak menyimpang ke mana-mana,agar tetap konsisten terhadap apa yang hendak ditanya, dengan panduan metode yang disepakati sejak mula.
Ketika di Zaunching di Wisma Antara pada tanggal 12 Februari 2013 lalu, di undangan yang disebar pada media, tajuknya berbunyi: siapa yang paling pantas menjadi calon Presiden tahun 2014. Tajuk ini sangat "provokatif". Hampir seluruh media di Jakarta pulang mem­bawa catatan hasil polling ter­sebut. Menarik bahwa yang dipilihnya kelompok mahasiswa. Kalau kelompok ibu-ibu, saya yakin mereka nanti akan tetap memilih calon yang rapi jali, jambul kelimis, dan sopan dalam tata bahasa tapi alpa dan sangat mengabaikan tata kerja. Kalau kecenderungan ini yang terjadi, hancurlah kita oleh kerapian.

Di sini ada hal penting: sipil-militer tak dipersoalkan lagi. Hal penting berikutnya tanggung jawab, kompetensi, dan corak leadership dijadikan tolok ukur utama. Dan polling ini di­tujukan untuk para jenderal yang sudah jelas mau mencalon­kan diri maupun yang belum. Sisi mengejutkan yang , dimunculkan dalam polling itu dan kemudian diberitakan media, Letnan Jenderal TNI (Purn) Sutiyoso, mantan Gubernur DKI selama 10 tahun, Bang Yos yang masih tersimpan rapat di dalam "kotak" seperti dikejutkan untuk bangun dari sana dan muncul di "pakeliran" politik nasional. Rekam jejak dan prestasi Bang Yos tampak jelas, tapi tidak dia tampak-tampakkan. Apa maunya, dia belum bisa dibaca. Tapi efek polling itu besar: Prabowo yang selalu muncul di media dalam bentuk iklan di dalampollingitu. tampaknya kalah sorot dengan Bang Yos. Orang merasakan adanya suatu kejutan. Adakah kejutan ini hendak dimanfaat­kan, atau tidak, terpulang ke­pada Bang Yos, yang pasti ia merasa terhormat karena pagi-pagi namanya menjulang tinggi di atas awan. (MOHAMAD SOBARY Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Siri h dan Cengkih, buat Kesehatan).

Sumber : Koran Suara Pembaruan