Rabu, 20 Februari 2013

UU Kamnas Bukan "Kopkamtib"

Jakarta,  Harian Pelita (20/02/13, Hal 01)
Menteri Pertahanan (Menhan) Purnomo Yusgiantoro menegas­kan RUU Keamanan Nasional (Kamnas) dipakai jika kondisi sudah mengancam keamanan nasional dan bukan gangguan keamanan biasa. Sementara mantan Gubernur Lemhannas Prof Dr Muladi, SH menegas­kan bahwa Dewan Keamanan Nasional (DKN) sebagai pelaksa­na UU Kamnas bukanlah "Kop­kamtib" seperti di era lalu.
Menurut Purnomo, di Jakar­ta, Selasa (19/2), adanya kon­flik vertikal maupun horisontal serta komunal yang terjadi di masyarakat semakin menjelas­kan perlunya UU ini diberlakukan. Namun dia juga menjelas­kan bahwa masyarakat tidak boleh salah persepsi terhadap keberadaan UU ini.

"Kalau demonstrasi, sifatnya ma­sih gangguan dan hanya perlu in­struksi gangguan keamanan dalam negeri saja. Bisa ditangani oleh aparat daerah, ya sudah cukup. Tidak perlu UU Kamnas," jelasnya.
Saat ini, RUU Keamanan Na­sional masih dalam tahap pem­bahasan Panja RUU Kamnas DPR RI dan menuai banyak pro dan kontra. Salah satu penye­babnya karena dianggap menu­tup kebebasan masyarakat sipil.

"Maklum kalau ada pro dan kontra. Mari dibahas di DPR. Kalau misalnya ditolak, apanya yang ditolak kalau diperbaiki mari bersama-sama diperbaik, " tutur Purnomo.

Elemen Buruh dan LSM
Kemarin, sejumlah elemen buruh dan LSM yang tergabung dalam Ko­alisi Perjuangan Hak Sipil dan Bu­ruh melakukan unjuk rasa menen­tang RUU Kamnas dan RUU Organ­isasi Massa (Ormas) ini. Di DPR, per­wakilan pengunjuk rasa yang terdiri dari Federasi Serikat Pekerja Met­al Indonesia (FSPMI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Imparsial, ser­ta beberapa lembaga lainnya, diteri­ma pimpinan DPR untuk berdialog.

Dalam tuntutannya, pengunjuk rasa mendesak agar menghentikan pembahasan kedua RUU itu, ter­masuk mengusulkan menggantinya dengan RUU Perkumpulan.

Ketika berdialog dengan Priyo Budi Santoso, Direktur Program Im­parsial Al Araf menilai RUU Ormas dan RUU Kamnas mengancam kebe­basan dan demokrasi di Indonesia.

Kedua RUU tersebut, menurut dia, tidak memiliki landasan yang kuat serta sejumlah pasal di dalamnya mengandung multitafsir dan mengancam kebebasan sipil bagi warga negara Indonesia.

"Alasan urgensi untuk memba­has RUU tersebut tidak jelas. Tidak ada urgensi sama sekali," katanya. Direktur Eksekutif Kontras Haris Azhar mengatakan ada bias anta­ra sekuritisasi dengan pengabaian prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam RUU Kamnas.

Menurut dia, sejumlah pasal dalam RUU Kamnas secara vulgar mengarah pada pembatasan kebe­basan hak masyarakat sipil di In­donesia.

"Revisi UU Ormas tidak diperlu­kan jika alasan pembentukannya untuk mencegah aksi anarkis yang dilakukan ormas," katanya. Menurut dia, hukum yang ada di Indonesia saat ini sudah cukup un­tuk mengatasi aksi anarkis. 

Perwakilan dari Lembaga Ban­tuan Hukum (LBH) Jakarta Maruli menyatakan RUU Ormas bukan merupakan solusi dalam penegakan demokrasi yang sehat. Dia mengusulkan agar DPR RI lebih fokus mengurusi partai poli­tiknya masing-masing agar memi­liki kinerja lebih baik.

Pada kesempatan tersebut, Priyo mengapresiasi usulan dari per­wakilan buruh dan LSM sebagai ma­sukan dan pertimbangan bagi DPR RI dalam rapat pembahasan RUU. Namun Priyo tetap menekankan bahwa pembentukan RUU itu di­dasarkan pada tujuan yang baik.

"Jika RUU ini mandek, dikhawat­irkan yang akan berlaku adalah UU lama yang lebih represif," katanya. Priyo juga berjanji bahwa draf akh­ir RUU Ormas dapat diakses oleh perwakilan buruh dan LSM untuk mendapatkan respons dari mereka. Rencananya, pada 28 Februari 2013, massa buruh kembali akan aksi unjuk rasa di depan pintu ger­bang DPR RI.

Bukan "Kopkamtib"
Sebelumnya, mantan Guber­nur Lemhannas Prof Dr Muladi, SH menegaskan bahwa Dewan Ke­amanan Nasional (DKN) sebagai pelaksana UU Keamanan Nasional bukanlah "Kopkamtib".

"DKN itu bukan Kopkamtib, kare­na DKN bukan cek kosong untuk Presiden, sebab DKN melibatkah to­koh masyarakat dan ada Pengawas DKN. Lembaga serupa DKN juga ada di negara lain," katanya. Dia mengemukakan hal itu keti­ka menjadi pembicara utama dalam seminar "Konsolidasi RUU Kamnas" yang juga menampilkan Wakil Ketua Umum PBNU Dr KH As'ad Ali, man­tan Kabareskrim Komjen Pol (P) Dr Ito Sumardi, anggota DPR RI Effendy Choirie, dan sebagainya. 

Menurut Guru Besar Universi­tas Diponegoro (Undip) Semarang itu, RUU Kamnas bertujuan men­jaga tegaknya NKRI, memperkuat diplomasi ASEAN dan PBB, menyelamatkan sumber daya alam, memelihara pluralisme masyarakat dan sebagainya. Oleh karena itu, RUU Kamnas banyak mengatur "perang" antara lain kejahatan transnasional, nuk­lir, narkotika, radikalisme, teror­isme, bioterorisme, bencana alam, dan sebagainya.

"Jadi, RUU Kamnas itu bukan dibuat untuk bisa berbuat apa saja. TNI sekarang harus tunduk pada proses demokrasi," katanya dalam seminar yang digagas Center fo Security and Welfare Studies Departe­men Polisik FISIP Unair itu.

Senada dengan itu, pengamat mi­liter dari UI Dr Andi Wijayanto men­gatakan keputusan "darurat" dari DKN itu melalui perintah Presiden untuk sidang DKN, sehingga kepu­tusan DKN itu melalui rapat (de­mokrasi)."Jadi, Presiden tidak bisa sembarangan mengeluarkan keputusan yang genting tanpa ada proses de­mokrasi yang melibatkan DKN sep­erti Sidang DKN dan seterusnya," katanya. 

Untuk kelompok yang meno­lak RUU Kamnas, ia menyarankan pemerintah memfasilitasi mereka un­tuk mengadakan diskusi guna pe­nyampaian hasil diskusi. "Dengan be­gitu, nantinya tidak akan ada peno­lakan RUU Kamnas, melainkan revisi UU Kamnas, “ katanya. (ant/jon), Sumber : Harian Pelita