Selasa, 16 April 2013

Citra Korps Baret Merah



Selasa, 16 April, adalah hari jadi Korps Ko­mando Pasukan Khu­sus   (Kopassus)   TNI Angkatan Darat. Ulang tahun kali ini diwarnai kasus yang mem­prihatinkan dan menyedihkan. Seba­nyak 11 prajurit Grup Kopassus dari Markas Kandang Menjangan, Kartasura, Jateng, menyerbu LP Cebongan, Sleman, Yogyakarta, dan menewaskan empat penghuni penjara tersebut. Tentu peristiwa, itu menggores citra satuan tersebut.

Pemimpin Korps Baret Merah harus memulihkan citra tersebut. Mengem­balikan citra dan merebut kembali kepercayaan publik memang bukan tugas yang ringan, namun harus dilakukan. Salah saurnya adalah melaksanakan pengadilan militer yang terbuka bagi para prajurit tersebut. Mereka harus dihukum setimpal. Hanya dengan pengadilan yang serius, terbuka, dan bisa diakses semua pihak, proses ter­sebut dapat dinilai publik.

L'historia se repete, sejarah itu berulang. Demikian kata orang Pran­cis. Ada masanya TNI dihujat demi­kian keras seperti pasca reformasi. Kini, mereka juga mengalami hal yang sama. Mereka harus kembali memperbaiki citra. Sekitar 15 tahun lalu, sebu­ah majalah asing membuat reportase khusus tentang Kopassus bahwa pe­latihan untuk memperoleh kualifikasi komando pada Kopassus merupakan yang terberat di dunia (Asiaweek, 18 April 1997). Juga disebutkan Unit Anti terornya merupakan yang terbaik di Asia (di luar Israel).

Sebagai negara dengan anggaran pertahanan terbatas, kita tidak bisa terlalu berharap mampu mengim­bangi keunggulan armada pesawat tempur negara tetangga, seperti Aus­tralia dan Singapura. Dibanding dua negara tetangga itu, kekuatan udara Indonesia ibarat apel yang siap petik, terlalu mudah dijadikan sasaran. Ti­dak bisa tidak, pilihan akhirnya jatuh pada upaya pengembangan satuan tempur dengan anggaran lebih eko­nomis agar bertumpu pada kemam­puan perseorangan, satuan berbasis infanteri seperti Kopassus, Kostrad, Marinir atau Paskhas TNI.

Bagi publik awam, sebenarnya tidak banyak satuan yang.akan selalu dike­nang. Di antara sedikit yang diingat adalah Kopassus dan Brigif Linud 17/ Kujang-1 Kostrad. Perwira-perwira yang berasal dari dua satuan tersebut seo­lah-olah secara bergiliran mengisi pos pimpinan TNI. Brigif Linud 17, misal­nya, yang komandannya untuk perio­de 1992-1993, yakni Kol Inf SB Yudhoyono.kini telah menjadi presiden.

Membangun citra  sebuah korps hingga menjadi legenda sangat­lah sulit. Butuh waktu bertahun-tahun dan semangat berkor­ban para anggota. Kedekatan emosional dengan rakyat bisa dijadikan parameter seberapa besar nama satuan itu. Seba­gaimana pernah dialami Yonif Li­nud 401/Banteng Raider (Semarang) pada 2003, yang likuidasinya disayang­kan banyak pihak. Meski satuan ini sebenarnya hanya ganti nama menjadi Yonif 400/Raider, rasa kehilangan itu tetap ada.

Demikian juga yang terjadi dengan Kopassus. Kebesaran namanya tidak usah diragukan lagi. Justru terkadang bisa merepotkan sendiri. Sebagai satuan yang memang sudah terpandang sejak kelahirannya (16 April 1952), Kopas­sus acap kali terbawa-bawa pada ma­salah bernuansa politis. Cukup sudah pengalaman pahit di masa lalu. Seperti pernah dikatakan mantan Danjen Ko­passus, Mayjen TNI Syaiful Rizal (lu­lusan terbaik Akmil 1975), bahwa satu­an seperti Kopassus ibarat gerbong. Ke mana lokomotifnya bergerak, pasti terkena dampak.

Satuan Lain
Dalam tahun-tahun terakhir, seba­gian besar masyarakat (terutama yang tinggal di perkotaan) telah kehilangan hal yang esensial, seperti rasa aman. Ada ancaman teroris. Dia bisa diikut­kan mengatasi ancaman terorisme yang eskalasinya terus meningkat dari waktu ke waktu.

Isu mengenai ancaman teroris in­ternasional semakin marak setelah peristiwa 11 September 2001 di New York. Namun, sejak tahun 1970-an, su­dah banyak negara yang membentuk satuan khusus anti teror. Karena sejak saat itu, sudah mulai dikenal operasi penyanderaan dan pembajakan pe­sawat, baik bermotif politik maupun ekonomi. Salah satu peristiwa yang ba­nyak menarik perhatian dunia adalah penyanderaan atlet Israel pada Olimpi­ade di Munich (1972).

Kesadaran tentang perlunya satuan khusus antiteror juga dirasakan Kopas­sus saat itu. Dengan supervisi Jenderal Benny Murdani, mulailah dirintis pembentukan satuan tersebut, dengan dikirimnya dua perwira muda (saat itu), yaitu May Inf Luhut B Panjaitan dan Kapt Inf Prabowo Subianto, yang kemudian dikenal sebagai Detasemen 81 (Den 81) Kopassus. Pada reorgan­isasi Juni 1996, satuan ini memperoleh sebutan Grup 5/Antiteror. Kemudian pada tahun 2001, satuan dengan semboyan "Siap, Setia, Berani" ini kembali mengalami reorganisasi dengan nama Satuan-81/Gultor (Penanggulangan Teror) Kopassus.

Satuan antiteror juga dikembangkan di angkatan lain, bukan "monopoli" Ko­passus semata, seperti Detasemen Jala Mangkara (Korps Marinir), Komando Pasukan Katak TNI-AL, Detasemen Bravo 90 Paskhas TNI-AU, dan Densus 88/Antiteror (Polri). Reputasi satuan antiteror tentu sudah diketa­hui publik, termasuk kelompok yang berpotensi melakukan  aksi teror. Khusus mengenai teknik mengatasi ancaman teroris dalam gedung, kon­sep Kopassus telah diadopsi satuan sejenis di kawasan Asia Pasifik, seRegional Counter Terror: ''Subject Matter Expert Exchange (RCT-SMEE), pada November 2005 di Australia.

Walter N Lang, seorang pengamat pasukan elite, pernah menulis kean­dalan sebuah satuan antiteror jangan dilihat di bawah marinir, polisi, atau tentara, namun intensitas pelatihan, perencanaan, dan peralatan.

Demikian juga adanya rasa percaya diri dan fleksibilitas dalam mengha­dapi kondisi lapangan saat pelaksana­an operasi. Asumsi Walter N Lang bisa menjadi bahan kajian agar mencapai hasil optimal dalam operasi, perlu ada sinergi antarsatuan antiteror di Tanah Air. Misalnya dengan latihan bersama atau saling tukar informasi mengenai teori dan teknik terbaru, termasuk per­alatan canggih. (muhammad yamin), Sumber: Koran Jakarta (16 April 2013/Selasa, Hal. 04)