Selasa, 30 April 2013

Jokowi dan Operasi TNI Selain Perang



Senin, 29 April 2013 | 12:43

Keinginan untuk menjadikan sungai-sungai yang mengalir di tengah Jakarta, seperti Sungai Hang di Seoul, Korea Selatan, merupakan salah satu keinginan Gubernur Jakarta, Joko Widodo yang akrab disapa Jokowi. Untuk merealisasikan sungai yang bersih dan menjadi tujuan wisata seperti Sungai Hang, Jokowi melibatkan Kopassus. Dalam kegiatan seperti itu, Jokowi menyatakan dalam skala yang lebih besar tak hanya akan mengajak Kopassus, namun juga melibatkan TNI AL dan TNI AU.

Kegiatan bersih-bersih di sungai-sungai di Jakarta bisa untuk mengembalikan citra Kopassus pasca-penyerbuan oknum Kopassus di LP Cebongan, Sleman, Yogyakarta. Dengan acara seperti itulah maka orang mempunyai kesan bahwa Kopassus ternyata juga ramah.

Terlibat dalam acara seperti itu bagi Kopassus bisa jadi bukan yang pertama kalinya. Dikatakan oleh Danjen Kopassus, Agus Sutomo, sejak 2012, korps baret merah itu telah menjalankan program green, clean, and healthy. Kegiatan itu bentuknya seperti program Jumat Bersih, Sabtu Hijau, dan Minggu Sehat. Bentuk nyata kegiatan yang dilakukan Kopassus telah membuat jaring apung untuk menyaring sampah. Sampah yang masih bisa didaur ulang akan diberikan ke masyarakat untuk dimanfaatkan keperluan lainnya, seperti dibuat pupuk dan gas.

Apa yang dilakukan oleh Kopassus dengan ikut membersihkan sungai dan lingkungan dari sampah tentu tidak melanggar UU 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Apa yang dilakukan Kopassus itu merupakan salah satu bentuk dari penjabaran operasi militer selain perang.

Dalam masa-masa damai tentu tugas pokok yang diemban TNI tentu lebih banyak pada operasi selain perang. Syukur undang-undang itu memberi ruang kepada TNI dalam operasi militer selain perang. Bila tidak, maka aparat bersenjata itu akan lebih banyak menganggur karena tidak ada perang.

Dwi Fungsi

Sebagaimana diketahui salah satu tuntutan era reformasi adalah dicabutnya dwi fungsi ABRI (TNI). Tuntutan ini akhirnya membuat TNI kembali ke barak. Di masa Orde Baru, tentara tidak hanya disibukkan menjaga wilayah kedaulatan bangsa, namun juga berpolitik, bahkan bergerak di ranah keamanan. Namun sekarang bergerak dalam politik dan keamanan merupakan suatu hal yang diharamkan.

Kita patut bersyukur dengan kembalinya TNI ke barak dan konsentrasi di ranah pertahanan. Dengan ini maka anggota TNI lebih disibukkan dengan latihan untuk meningkatkan profesionalisme. Kita sering melihat TNI melakukan latihan-latihan, baik latihan sesuai dengan matranya maupun latihan gabungan. Show force dalam latihan itulah yang membuat banyak negara lain segan kepada negara kita.

Namun, hilangnya satu kaki TNI di ranah politik dan keamanan ditambah dengan suasana yang damai, apalagi Presiden SBY menyatakan tidak akan berperang dengan negara lain, membuat TNI "menganggur". Sebagai pengangguran terdidik dan terlatih tentu berbahaya, sehingga ada sebagian anggota TNI berusaha mencari "pekerjaan lain".

Kasus penyerbuan LP Cebongan oleh 11 anggota Kopassus Grup II Kandang Menjangan, sepertinya bukan hanya persoalan jiwa korsa atas tewasnya rekan mereka. Namun, ini juga buah dari menganggurnya mereka dari tugas-tugas militer perang, sehingga banyak anggota TNI yang terlatih mencari palagan sendiri-sendiri. Bila ada operasi-operasi militer, tentu penyimpangan tugas dari aparat TNI tidak sebanyak masa-masa saat ini.

Kalau kita membaca buku Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, di mana banyak tugas-tugas yang diemban oleh Kopassus (dari namanya RPKAD, Kopasandha, hingga Kopassus), mulai dari perlawanan terhadap G 30 S/PKI, pemberontakan Kahar Muzakkar, pemberontakan Tentara Komunis Kalimantan Utara, pembajakan pesawat DC-9 Woyla, dan tugas-tugas lainnya, kita bisa menyimpulkan banyak pekerjaan yang dibebankan kepada Kopassus. Dengan banyaknya pekerjaan inilah maka pasukan yang berbaret merah itu tidak neko-neko di tengah masyarakat.

Namun, karena suasana yang damai dan tidak meratanya tugas, maka terjadilah penyimpangan-penyimpangan tugas yang dilakukan oknum aparat TNI. Tidak meratanya tugas bisa kita telisik mulai pada 2002, di mana ketika terorisme mulai marak di Indonesia penanganannya hanya dilakukan oleh polisi dengan Densus 88-nya.

Penanganan dilakukan oleh polisi dalam memberantas terorisme dengan alasan bahwa masalah ini adalah masalah keamanan, bukan pertahanan. Memang kita akui Densus 88 bisa melumpuhkan teroris, namun dalam segi taktik dan stretegi, sepertinya Kopassus lebih lihai. Terbukti dalam keadaan yang sulit, Kopassus mampu melepaskan pesawat DC-9 Woyla dari para pembajak.

Tak meratanya tugas dengan alasan undang-undang, membuat adanya kecemburuan dari pasukan yang terlatih khusus. Mereka yang sudah dilatih dengan keras, berat, dan berbulan-bulan, kok dianggurkan? Padahal sebagai pasukan yang terlatih khusus, mereka membutuhkan palagan nyata untuk melakukan uji nyali dan praktik ilmu yang telah diperolehnya.

Karena palagan nyata tidak ada, maka mereka mempraktikkan di tempat-tempat yang bukan pada tempatnya, seperti di LP Cebongan. Di Cebongan mereka tak hanya membangun solidaritas jiwa korsa, namun mempraktikkan hal-hal yang telah diserap dalam latihan.

Dalam masalah tugas tentara, kita bisa mencontoh Amerika Serikat. Meski suasana di dalam negeri damai, namun pemerintah negara itu mampu menciptakan palagan bagi tentaranya, dengan mengirim ke daerah-daerah konflik. Cara seperti itulah membuat tentara mereka mempunyai pekerjaan dan profesionalistasnya teruji.

Akibatnya, tentara Amerika Serikat tidak pernah membuat keributan dan kegaduhan di masyarakat. Pemerintah Obama sekarang justru pusing bila pasukan ditarik dari Afghanistan, sebab para prajurit itu akan menganggur dan bila menganggur dikhawatirkan membahayakan masyarakat dan pemerintah.

Apa yang dilakukan Jokowi merupakan sebuah langkah positif dan perlu diberi apresiasi. Dengan ajakan kerja sama Jokowi, maka Kopassus mempunyai pekerjaan dan pekerjaan ini halal karena dijamin UU 34/2004, yakni operasi militer nonperang. Dengan ajakan inilah maka Kopassus keluar dari barak, namun dijamin oleh undang-undang, sehingga TNI AD tidak perlu membentuk tim investigasi.

Dalam masalah ini, bisa jadi Jokowi tahu bahwa tentara harus diberi kesibukan, sehingga tak hanya berada di dalam barak. Jokowi mungkin tahu kalau duduk-duduk saja di dalam barak, tentara akan bosan. Kebosanan inilah yang membahayakan. Apa yang dilakukan oleh Jokowi ini perlu ditiru oleh kepala daerah lainnya. Dengan adanya pekerjaan, maka akan mengurangi gesekan antara anggota TNI dengan masyarakat dan polisi. Sumber : www.beritasatu.com