Kamis, 25 April 2013

Koalisi LSM Desak Revisi Peradilan Militer



Jakarta,   Koalisi Masyara­kat Sipil unltik Reformasi Sek­tor Keamanan (KMSRSK) mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mereformasi TNI dengari mendorong DPR merevisi UU Peradilan Militer sebelum mengakhiri masa tugasnya di pemerintahan. Koalisi terdiri dari berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM), seperti Imparsial, Setara Institute, Kontras, Ridep lnstitute dan YLBHI.

Direktur Imparsial Poenky Indarti mengungkapkan, ke­kerasan oleh anggota TNI tidak bisa dibenarkan siapa pun, ter­masuk pemimpin TNI dengan dalih apa pun. Seperti diketa­hui, peristiwa kekerasan yang melibatkan tentara kembali terjadi dengan melakukan pe­nyerangan terhadap petugas keamanan di kantor DPP PDIP dijalan Lenteng Agung,Jakarta Selatan, Sabtu (20/4) malam.

“Reformasi peradilan militer harus bisa dilaksanakan di sisa masa jabatan pemerintahan Presiden SBY. Semua kejadian kekerasan yang melibatkan tentara berimplikasi kepada tidak adanya efek jera pelaku karena tidak adanya penghu­kuman yang adil. Maka refor­masi peradilan militer merupakan keharusan konstitusional yang harus dijalankan presiden dan DPR," jelas Poenky saat konferensi pers KMSRSK di Kantor Imparsial, Jakarta, Se­lasa (23/4).

Poenky mengkhawatirkan kasus kekerasan yang dilaku­kan sejumlah anggota Batalyon Zeni Konstruksi/13 yang memu­kuli empat anggota staf PDIP dapat terulang di mana saja. Padahal saat ini diketahui pro­ses pengusutan kasus pembu­nuhan empat tahanan di LP Cebongan DIY serta pembakaran dan penganiayaan Polres Ogan Komering Ulu (OKU) Sumatera Selatan belumlah tuntas.

"Kami menyesalkan adanya sifat permisif atas kekerasan anggota TNI selama ini dengan alasan jiwa korsa atau solidari­tas. Kami juga menyesalkan dibenarkannya pembunuhan dengan alasan melawan pre­manisme," jelasnya. Poenky berpendapat permisif dan permakluman dalam kasus pe­nyerangan empat tahanan titipan LP Cebongan tak lepas dari sikap Presiden SBY maupun pihak lain yang menilai para pelaku pembunuhan tahanan LP Cebongan itu sebagai kesa­tria. la mengungkapkan sikap kesatria seharusnya mengakui perbuatan saat di awal dan bu­kan ketika kasus mulai terung­kap, la khawatir sikap SBY saat ini dapat menambah panjang deretan kekerasan melibatkan tentara.

"Lihat sekarang kasus ke­kerasan tentara dilakukan di kantor parpol (PDIP) yang pada­hal parpol punya power. Bagaimana kalau rumah kita yang kena, siapa yang akan meno­long? Kita harus desak peme­rintah untuk serius mengubah peradilan militer ini," imbuhnya.

Ketua Setara Institute Hendardi menilai selama 8.5 tahun pemerintahannya, SBY tidak menjalankan reformasi pera­dilan militer. Atas dasar ter­sebut, ia pesimistis reformasi peradilan militer dapat dila­kukan di pemerintahan SBY. Menurutnya, dengan kondisi tersebut, SBY terkesan membi­arkan saja kekerasan yang di­lakukan militer terhadap sipil. "Padahal selama UU Peradilan Militer belum direvisi, berbagai persoalan kekerasan itu selalu akan muncul," katanya.

Komando Teritorial
Dalam kesempatan yang sama, Poenky mempertanya­kan mengapa di era reformasi dan demokratisasi, komando teritorial masih terlihat seba­gai bagian dari gelar kekuatan TNI. Menurutnya, komando teritorial yang dibentuk pada masa lalu dan hingga kini ma­sih kuat, tidak bisa dilepaskan dari menguatnya politik mili­ter di masa Orde Baru. Struk­tur komando teritorial pada rezim Orde Baru, kata dia, di­gelar secara permanen meng­ikuti struktur pemerintahan sipil. Dengan kondisi tersebut, komando teritorial menjadi penyangga utama kekuatan rezim politik Orde Baru.

Mengutip pernyataan Ketum PDIP Megawati beberapa waktu lalu yang mengatakan pola militer Babinsa (Badan Pembinaan Desa) sebagai bagian terbawah dari struktur komando terito­rial diduga digunakan untuk kepentingan pilkada di Jawa Te­ngah, menurut Poenky hal tersebut merupakan contoh struk­tur teritorial yang digunakan untuk kepentingan politik. Kebijakan struktur komando teri­torial sahutnya, harus ditinjau kembali, terlebih karena dalam strategi pertahanan yang terintegrasi atau Integrated Armed Forces hal tersebut tak dikenal.

Keberadaan komando terito­rial, katanya, juga tak lagi rele­van dengan strategi pertahanan Indonesia. Keberadaan koman­do teritorial juga dipandang tak sejalan dengan Undang-Undang TNI yang menyebutkan gelar kekuatan TNI tidak mengikuti struktur pemerintahan sipil. (M Bachtiar Nur), Sumber Koran: Sinar Harapan (24 April 2013/Rabu, Hal. 03)