Selasa, 30 April 2013

Kurikulum pendidikan TNI mesti dievaluasi



Senin, 29 April 2013 08:36:48

Dua tahun terakhir, angka kekerasan dilakukan aparat militer terhadap masyarakat terus melonjak. Lembaga nirlaba Imparsial mencatat ada 20 kasus melibatkan seratusan anggota TNI. Terakhir, penyerbuan ke dalam kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Lenteng Agung, Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Direktur Program Imparsial Al A'raf menilai harus ada evaluasi terhadap dokrin dan pendidikan di lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sebab, prajurit salah memahami jiwa korsa. "Jiwa korsa dipandang sempit. Jika ada teman berantem, lalu secara beramai-ramai ikut membalas dendam," katanya kepada merdeka.com, Senin pekan lalu.

Dia mengatakan TNI salah membangun sistem sehingga cara pandang terhadap jiwa korsa ini kebelinger. Secara jenjang pendidikan sudah baik, tetapi kurikulum mesti diperbaiki. Menurut dia, pola pendidikan harus mampu mengajarkan kepada prajurit di negara hukum tidak boleh ada yang melanggar hukum. Semua persoalan harus diselesaikan melalui hukum. "Struktur teritorial TNI tidak perlu mengikuti struktur pemerintahan sipil," ujarnya.

Anggota Komisi I Bidang Pertahanan dan Luar Negeri Mayor Jenderal Punawirawan Yahya Sacawiria mengakui terutama prajurit muda kadang keliru menerapkan jiwa korsa. Dia menegaskan solidaritas itu harus pada tempatnya.

Dia menjelaskan prajurit di kota besar lebih gampang melakukan kekerasan ketimbang serdadu di pinggiran kota. Sehingga komandan satuan harus bertanggung jawab selama 24 jam terhadap semua kegiatan anggotanya. "Efek jera harus diberikan kepada prajurit. Kalau tidak ada aturan tegas, dia akan jadi liar kaya gerombolan," tuturnya.

Rektor Universitas Pertahanan Letnan Jenderal TNI Syarifudin Tippe mengatakan buat mengurangi kekerasan oleh prajurit mesti meningkatkan profesionalisme di jajaran perwira menengah. Dia meminta prajurit saat berpakaian sipil atau militer tetap harus menjaga sikap dan perilaku. Prinsip ini tidak boleh luntur sampai pensiun.

Dia menegaskan tidak ada kode etik mengharuskan prajurit saat berpakaian sipil harus berperilaku sipil ketika di luar markas atau barak militer. "Prajurit dimana pun, nilai sapta marga dan sumpah prajurit harus dibawa," katanya. Sumber : www.merdeka.com