Selasa, 16 April 2013

Mengevaluasi Reformasi TNI



Menjelang 15 tahun usia reformasi menarik untuk mengevaluasi profil TNI. Akhir-akhir ini pem­beritaan tentang TNI didominasi oleh berita buruk karena ulah prajurit-prajurit TNI AD yang dituduh main hakim sendiri.

Pada 23 Maret 2013 dinihari 11 anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dari grup II Kartasura menyerang Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan Sleman. Empat tahan­an yang ditahan karena dituduh membunuh sersan satu Kopassus Santoso beberapa hari sebelumnya diberondong di ruang selnya. Dua minggu sebelumnya, sekitar 75 anggota TNI Yon Armed 15/76 Marta­pura Sumsel mendatangi Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU) terkait kasus penembak­an Prajurit Satu Heru Oktavianus oleh anggota Polres OKU, Brigadir Wijaya, dua bulan se­belumnya. Sejumlah prajurit mengamuk dan melukai ang­gota Polres OKU dan membakar Kantor Polres OKU.

Pada 29 September 2002 terjadi bentrokan tembak-me­nembak selama sekitar enam jam antara Bataliyon Lintas Udara 100 Kostrad dan anggota Kepolisian Resort Langkat di­bantu Brigade Mobil Kepolisian Daerah Sumut yang bermarkas di Binjai Sumut.

Apa reaksi publik terkait penyerangan Kopassus itu? Koordinator  Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Haris Azhar menilai, secara politis kasus itu teror terhadap publik dan negara. Menurut Menkumham Amir Syamsuddin, aksi penye­rangan itu keji. Menurut Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat, penyerang­an itu mencerminkan demoralisasi angkatan bersenjata. Man­tan Ketua Umum PP Muham­madiyah Ahmad Syafii Maarif menyatakan, semua kekerasan itu mencerminkan kepercaya­an masyarakat kepada negara kian menipis. Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi mengatakan bahwa pengakuan anggota Kopassus tersebut tidak pantas disebut kesatria.

Sementara itu, dukungan terhadap 11 prajurit Kopassus itu melalui media sosial terus mengalir. Di bawah gerakan "Satu miliar dukungan untuk 11 anggota Kopassus" di Facebook dalam waktu tiga hari sejak 4 April 2013 sebanyak 10.544 orang mendukung tindakan Kopassus yang justru dinilai menghabisi preman.

Reformasi TNI
Apa respons TNI terhadap gerakan reformasi pasca pemerintahan Presiden Soeharto? Mantan Asisten Teritorial KSAD Mayjen Saurip Kadi (Kompas, 12/1/2001) mengata­kan: "Keberadaan TNI dengan dwifungsinya telah menjadikan TNI mendominasi hampir semua sektor kehidupan dan cenderung bertindak berlebih­an dalam menjalankan fungsi sosial politiknya. Dengan day to day politic, TNI akhirnya me­nempatkan diri sebagai alat penguasa daripada alat negara. Hal yang terpenting bagaimana TNI mampu memperbaiki distorsi akibat penyimpangan yang dilakukan pada masa lalu. Untuk itu, TNI memerlukan sebuah konsepsi pembaharuan yang meliputi redefinisi, reak­tualisasi, revitalisasi, dan res­trukturisasi TNI".

Amendemen II UUD 1945 menggariskan landasan konstitusional TNI: "Se­bagai alat negara bertugas mempertahankan, melin­dungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara" (Pasal 30). Pasal itu menjadi landasan kon­stitusional pengaturan konsep pertahanan dan keamanan berdasar paham demokrasi. TNI tidak dimungkinkan lagi berfungsi politik dan tidak pernah lagi akan menjadi backing Presiden RI yang berintensi sebagai pe­nguasa otoriter. TNI men­jadi penanggung jawab external security. Polri penanggung jawab internal security.

Turunan dari ketentuan konstitusi itu, lahir UU No 34/2004 tentang TNI, yang menyebut: "TNI dibangun dan dikembangkan secara profesio­nal sesuai kepentingan politik negara, mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia.

Dari uraian di atas tersimpul, ibarat tubuh manusia, organ vital TNI—jantung dan otak­nya—sehat. Tercermin dari sikap dasar TNI yang perform melaksanakan reformasi dengan memedomani landasan konstitusional dan yuridis yang ditetapkan. Namun, di bagian tubuh lain TNI terdapat bisul yakni ulah prajurit-prajurit yang kadang kala main hakim sendiri. Persoalannya, adakah bisul itu sekadar bisul karena ketidakdisipilinan anak buah? Atau simtomatik berakar dari tekanan stres yang menerpa atasan yang merasa, kecewa atas ketidakadilan dalam penye­lenggaraan pembaharuan me­nuju Indonesia yang clean and good governance?

Peringatan Dini
Dalam pelaksanaan refor­masi, fakta-faktamenunjukkan ketidakadilan. Meskipun ulah prajurit-prajurit TNI AD di­soroti dan dikecam karena berkali-kali main hakim sendiri, tapi dalam reformasi sesuai dengan amanat konstitusi, TNI siap dan taat sebagai alat negara yang bertugas mempertahan­kan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. TNI mengakui supre­masi sipil, tidak berpolitik, dan tidak lagi berbisnis. Jabatan-jabatan yang sebelumnya be­gitu banyak diisi personel TNI kini hampir semua telah diisi pejabat sipil.

Sebaliknya,   pelaksanaan reformasi oleh pemangku ke­pentingan yang lain berjalan tidak sehat. Legislatif yang se­mestinya dalam melaksanakan fungsi legislasi dan anggaran, melakukan pengawasan agar sesuai kepentingan rakyat, justru memperdagangkan otoritasnya untuk kepentingan sendiri dan kelompok. Eksekutif yang menurut sistem se­mestinya eksis untuk me­layani rakyat justru me­nempatkan rakyat sebagai sapi perahan. Yudikatif yang menurut sistem se­mestinya menjadi penye­lesai perkara hukum secara adil justru memperjual­belikan putusan dengan bermitra dengan mafia per­adilan.

Penolakan  Polri  terhadap permintaan Komisi Informasi  Pusat  untuk mengungkap rekening gendut milik puluhan pe­tinggi Polri berdasarkan laporan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Ke­uangan (PPATK) tertanggal 26 Juli 2005 dan 23 Juli 2010. Penolakan Komisaris Jenderal (Purn) Pol Susno Duadji untuk memenuhi eksekusi Kejaksaan RI terkait putusan MA yang menghukumnya  3,5  tahun penjara dalam perkara korupsi. Perkara dugaan korupsi pengaduan alat simulator SIM Korlantas Mabes Polri dan tindak pidana pencucian uang dengan tersangka Irjen Pol Djoko Susilo telah menghiasi panggung me­dia massa selama berminggu-minggu. Tiga contoh tersebut memperkuat temuan Transparency International Indo­nesia bahwa lembaga terkorup negeri ini adalah DPR, parpol, dan kepolisian. Gambaran itu tentu saja bertolak belakang dengan tugas konstitusional Polri yaitu melindungi, meng­ayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

Partai politik semestinya eksis untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Justru tahun-tahun terakhir media massa sarat dengan berita tentang orang-orang parpol— di pemerintahan dan parle­men—yang mencuri dan meng­hisap anggaran yang tersedia. Pengurus Pusat Partai Demo­krat Nazaruddin, Angelina Sondakh, dan Hartati Murdaya telah divonis penjara. Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum menjadi tersangka korupsi Proyek Hambalang.

Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq ditahan KPK sebagai tersangka suap proyek impor daging sapi. Wa Ode Nurhayati anggota DPR dari PAN divonis enam tahun penjara karena suap dana penyesuaian infrastruktur daerah. Zulkarnaen Djabar dari Partai Golkar menjadi tersangka korupsi pengadaan Alquran. Rusli Zainal dari partai yang sama tersangka suap PON Pekanbaru. Emir Moeis dari PDIP menjadi tersangka suap proyek PLTU Tarahan Lampung. Sebelumnya, berkat pengakuan anggota DPR dari PDIP Agus Condro ke KPK (2008), puluhan anggota Dewan utamanya dari PDIP dan Golkar dipidana pen­jara karena menerima suap terkait pemenangan Miranda Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior BI.

Tidak mengherankan, belum pernah terjadi dalam sejarah Indonesia, di Era Reformasi ini, begitu banyak anggota Dewan, kepala daerah, menteri, jaksa, hakim, dan pimpinan Bank Indonesia dipidana penjara karena mengorup dana rakyat.

Ulah prajurit-prajurit TNI AD seperti yang terjadi di Langkat, Ogan Komering ULU, dan Lapas Cebongan tidak disanggah sebagai pelanggaran hukum. Namun, operasi ter­organisasi mendekati sem­purna yang terjadi di "Lapas Cebongan bukan tidak mung­kin sebagai peringatan dari petinggi TNI bahwa pasukan elite Kopassus sangat mampu melakukan operasi sejenis ter­hadap pemangku negara di lembaga penyelenggara negara yang performanya menghisap kekayaan negara untuk kepen­tingan segelintir elite, seraya menciptakan kemelaratan rak­yat banyak.

Kita yakin TNI tetap akan siap dan setia kepada prinsip supremasi sipil sesuai ketentu­an UU TNI. Namun, hal itu ha­nya dapat dijamin jika pejabat-pejabat sipil di lembaga par­lemen, pemerintahan, penegak hukum dan parpol bertobat, serta segera kembali ke fungsi konstitusionalnya masing-masing.

Sorotan pers—yang fungsi­nya melakukan kontrol dan memberi pencerahan kepada bangsa—sudah cukup banyak menyoroti performa Kopassus tersebut. Danjen Kopassus Mayjen TNI Agus Sutono telah menyatakan siap bertanggung jawab atas tindakan 11 anggo­tanya, sorotan, dan kritik yang berkepanjangan dan tidak profesional justru dapat me­manaskan kondisi untuk reperkusi.

Kopassus juga tahu, tidak ada keadilan dalam penyeleng­garaan negara. TNI taat berlatih tiap hari untuk menjaga ke­daulatan negara dari musuh luar negeri. Sementara negara sedang digerogoti oleh musuh dalam negeri yakni para koruptor yang nyaris 100% adalah pejabat sipil. (SABAM LEO BATUBARA), Sumber Koran: Sindo (16 April 2013/Selasa, Hal. 07)