Selasa, 16 April 2013

Momentum Pemberantasan Premanisme



TNI AD akhirnya mengonfirmasi spekulasi bahwa serangan terhadap penjara di Yogyakarta yang menewaskan empat tahanan tewas dilakukan anggota Kopassus. Ketua Tim Investigasi TNI AD terkait penyerangan LP Cebongan, Sleman, Yogyakarta, Brigjen Untung Yudhoyono di Mabes TNI mengatakan pada konferensi pers di Jakarta bahwa para penyerang adalah personel Kopassus. Di tengah keniscayaan peradilan yang tegas dari pihak TNI terhadap personelnya tersebut, peristiwa ini menjadi alarm bagi banyak pihak bahwa sesungguhnya negeri ini tengah berhadapan dengan bahaya dahsyat yang kian mengancam, yakni menguatnya premanisme nyaris pada setiap sendi dan denyut kehidupan publik.

Eskalasi kepanikan publik terhadap premanisme mengantarkan diskursus sosial dan media untuk mendukung kasus pembunuhan di LP Cebongan. Keempat pria yang tewas itu diduga preman. Sekarang masyarakat menginginkan perang habis-habisan terhadap semua preman, meskipun dengan menghalalkan segala macam cara, misal lewat tindakan main hakim sendiri.

Derasnya apresiasi publik terhadap tindakan Kopassus tersebut menunjukkan parahnya racun premanisme bagi khalayak ramai. Banyak warga yang kini hidup dalam ketakutan akan preman yang dengan bebas berkeliaran, menyiksa, dan meneror. Celakanya pihak keamanan, seperti polisi, betul-betul dibuat tak berdaya. Kebanyakan warga telah merasakan bagaimana kemurkaan preman yang mudah saja membunuh siapa pun yang menantang mereka. Bagi masyarakat umum, aksi Kopassus di LP Cebongan adalah tindakan heroik.

Pengalaman menunjukkan bahwa kecenderungan main hakim akan menjadi liar dan lepas dari kontrol. Pada dekade 1980-an, Soeharto menyetujui aksi-aksi pembunuhan para tersangka pelaku kejahatan dalam sebuah operasi militer rahasia yang disebut Petrus (penembak misterius). Walau premanisme mereda, kebijakan ini telah memakan banyak korban yang acapkali adalah orang-orang biasa yang tidak ada hubungannya dengan kejahatan bawah tanah.

Kisah LP Cebongan ini menceritakan langkanya kualitas mulia serta kurangnya model peran dan pahlawan sejati yang tidak takut untuk menjadi penentu dan bertanggung jawab atas tindakan yang diperbuat. Ketika sedikit saja keberanian dan kejujuran terlihat, betapapun jahat, semua terperangah. Keterkejutan publik, yang seolah-olah menyalami aksi Kopassus ini, sebetulnya adalah cermin pesimisme masyarakat atas korupsi, egoisme, kepengecutan, dan lenyapnya kejujuran di wajah-wajah penguasa.

Kejadian ini memang menakutkan. Apa yang dilakukan pasukan khusus TNI ini bertentangan dan sekaligus penghinaan terhadap pemerintah dan ketertiban umum. Hal yang tak kalah memalukan adalah keyakinan bisa lolos dari jeratan hukum. Secara umum, peristiwa ini sejatinya menyorot ketidakmampuan pemerintah untuk melindungi rakyat dan mengendalikan pasukan keamanannya. Tidak hanya itu, hal ini juga mengembangkan kecurigaan bahwa pemerintah sendiri bersalah dalam hal terbinanya agresi, pelanggaran hukum, dan intoleransi pada semua lapisan masyarakat, ketika preman berkeliaran bebas dan warga negara biasa berpikir untuk mengganggu dan menggertak orang-orang yang berbeda agama.

Serentetan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan, semisal di Cebongan dan Ogan Komering Ulu, juga menunjukkan eskalasi ketegangan antara Polri dan TNI. Ketidakharmonisan ini membutuhkan reformasi internal langsung dari kedua lembaga. Sejak perpisahan keduanya pada tahun 1999, TNI dan Polri kerap terlibat dalam banyak konflik. Reformasi separuh jalan hanya akan menciptakan lebih banyak tragedi. Polri, khususnya Densus 88 sebagai unit kontraterorismenya, telah memperoleh otoritas luar biasa dalam melaksanakan mandatnya. Dalam masyarakat demokratis, otoritas yang berlebihan tersebut dapat menyebabkan terblokirnya keran demokrasi yang sedang berlangsung dan menurunkan kualitas perlindungan hak asasi manusia. Hal yang sama berlaku bagi Kopassus. Penggunaan kekuatan luar biasa oleh Kopassus TNI ini juga akan menyebabkan kematian demokrasi dan pengebirian hak asasi manusia.

Unsur yang Hilang
Peristiwa LP Cebongan mengi­ngatkan adanya unsur yang hilang di negeri ini, yakni ketegasan dan koordinasi dalam melaksanakan suatu tindakan yang diinginkan dalam waktu singkat. Meskipun amburadulnya penegakan hukum, ada sesuatu yang tertib dan disiplin terhadap tindakan penyelewengan tersebut serta kepercayaan dari orang-orang yang mengetahui secara persis apa yang mereka lakukan. Ini merupakan sebuah sifat yang langka , di negeri ini. Sayangnya, ini bukan sesuatu yang dapat kita katakan tentang pemimpin kita sekarang, yang menyenangkan dan sempurna dalam segala hal kecuali untuk keraguannya, ketidakamanan yang langka dan kecemasan yang tak pernah berakhir.

Merosotnya kepuasan publik terhadap penegakan hukum yang disebabkan tindak kekerasan aparat yang marak terjadi juga berdampak terhadap meluasnya premanisme dan praktik mafia yang pada gilirannya melemahkan partai politik dan parlemen. Preman yang dimaksud mulai dari preman jalanan, preman bersenjata seperti polisi danTNI, preman berdasi atau koruptor dan preman-berkedok ormas sektarian. Masyarakat kian tak percaya. Pemerintah harus mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Aksi premanisme harus diberantas. Kalau tidak maka akan mengarah ke anarkisme sosial.

Premanisme tidak hanya mengacu pada kekerasan. Ada juga premanisme kerah putih yang melibatkan pejabat eselon rendah di beberapa kantor pemerintah. Di kantor pajak, seorang pejabat karier yang telah 11 tahun pernah mengakui bahwa 60 persen dari pendapatan pajak nasional berasal dari wajib pajak menengah atau berpenghasilan rendah, dengan penghasilan Rp 60 juta per tahun atau Rp 5 juta per bulan. Sisanya berasal dari sekitar 1.000 orang kaya, tetapi banyak yang masih tak dikenal dan belum ditemukan. Betul bahwa para petugas pajak nakal memang ada. Tapi, jika premanisme berhasil dihapuskan dieliminasi dan semua wajib pajak berlaku tulus, target pengumpulan pajak secara nasional sebesar Rp 1.019 triliun bisa dengan mudah dicapai. Pajak ini secara cukup mampu membiayai anggaran negara dan pembangunan seluruh infrastruktur.

Fenomena premanisme dewasa ini menggarisbawahi bahwa pemerintah telah gagal menegakkan hukum. Dengan pilpres yang kian menjelang pada 2014 ini, premanisme disinyalir bakal terus menghantui warga. Kecuali kalau kepemimpinan nasional memiliki keberanian untuk melaksanakan terapi kejut dengan cara apa pun untuk mengakhiri semua jenis premanisme. Masyarakat pasti akan mendukung perubahan ini. (Donny Syofyan), Sumber Koran: Sinar Harapan (15 April 2013/Senin, Hal. 04)