Rabu, 17 April 2013

Ngintip Pengadilan Militer Jakarta_Persidangan Terbuka Untuk Umum Kecuali Kasus Susila

Anggota Kopassus pelaku penembakan di Lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta akan disidangkan di pengadilan militer. Sejumlah kalangan mengkhawatirkan persidangan kasus itu tidak transparan.

Seperti apa persidangan di pe­ngadilan militer? Senin (15/4), Rakyat Merdeka berkunjung ke Pengadilan Militer Tingkat I Jakarta di Jalan Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur.

Seorang perempuan muda du­duk di kursi di tengah ruang si­dang. Ia berusaha menjawab de­ngan tenang semua pertanyaan yang dilontarkan majelis hakim. Persidangan dipimpin tiga hakim. Seorang perempuan menempati kursi Hakim Ketua. Sementara dua pria yang mengapitnya du­duk di kursi Hakim Anggota.

Perempuan muda yang duduk di tengah ruangan itu berprofesi perawat, la dihadirkan ke per­sidangan sebagai saksi perzinahan yang dilakukan oknum anggota TNI. Oknum itu juga diduga mendorong pasangannya yang hamil empat minggu untuk menggugurkan kandungannya. Aborsi dilakukan di rumah sakit swasta di Jakarta, tempat pera­wat itu bertugas.

Persidangan Senin sore itu mengagendakan keterangan ke­terangan saksi-saksi. "Jika sudah tidak ada yang dihadirkan seba­gai saksi, sidang akan kita lan­jutkan pekan depan. Silakan sak­si yang sekarang datang pada persidangan berikutnya bila ingin menyaksikan proses persidangan selanjutnya. Sidang di sini terbuka untuk umum," ujar Kolonel Chk Tama Ulinta Tarigan yang duduk di kursi hakim ketua se­belum menutup persidangan.

Mengamati ruangan sidang di peradilan militer ini tak berbeda dengan ruang sidang di peradilan umum. Meja majelis hakim di­tempatkan di muka ruangan ber­hadapan langsung dengan kursi sak­si. Agak ke belakang dari meja ha­kim terdapat meja untuk panitera.

Di sebelah kursi saksi terdapat meja untuk penasihat hukum dan terdakwa. Meja penasihat hu­kum berseberangan dengan meja jaksa penuntut umum. Di atas meja jaksa penuntut dipasang papan nama bertuliskan ."Odi­tur". Dalam militer, jaksa pe­nuntut umum disebut oditur.

Di belakang kursi saksi disusun bangku-bangku panjang untuk tempat duduk pengunjung persi­dangan. Seperti di pengadilan umum, kursi saksi dengan bang­ku pengunjung diberi pembatas.

Yang membedakan persida­ngan di pengadilan militer de­ngan persidangan di pengadilan umum adalah hakim, penuntut umum (Oditur) dan kuasa hukum tak mengenakan toga hitam. Me­lainkan tetap memakai baju di­nas harian TNI lengkap dengan tanda pangkat di pundak. Panite­ra yang bertugas mencatat di per­sidangan juga berseragam TNI.

Walaupun hakim, Oditur, pa­nitera hingga kuasa hukum ter­dakwa adalah anggota TNI, peradilan militer ini berada di bawah Mahkamah Agung (MA). Lambang MA terlihat dipasang di ruangan,sidang.

Ketua Pengadilan Militer Ja­karta Kolonel Chk Kolonel Chk Tama Ulinta Tangan mengatakan, pengadilan ini menjadi tempat menyidangkan anggota TNI yang melakukan tindak pidana mau­pun melanggar aturan militer.

Kasus yang disidangkan di sini mulai dari tindak kekerasan yarig dilakukan anggota TNI, penya­lahgunaan narkoba, pemerkosa­an, perzinahan, hingga desersi.

"Pengadilan Militer tidak per­nah dilakukan secara tertutup. Se­lalu terbuka untuk umum. Sila­kan datang dan lihat secara lang­sung setiap proses persidangan perkara yang kita tangani," kata Tama saat ditemui Rakyat Mer­deka usai persidangan.

"Khusus untuk perkara susila, seperti perzinahan, jika pada saat agenda pemeriksaan saksi dan terdakwa dipastikan tertutup. Sisanya ya terbuka," imbuhnya.

Ia mencontohkan persidangan yang dipimpinnya tadi. Ada dua dakwaan yang dikenakan kepada oknum TNI yang melakukan tin­dak pidana. Yakni, melakukan perzinahan dan mendorong pa­sangannya yang hamil untuk abor­si. Persidangan untuk dakwaan perzinahan dilakukan tertutup.

"Saksi yang dihadirkan tadi berhubungan dengan proses, aborsi. Jadi itu terbuka untuk umum," ujar perempuan yang sudah enam bulan menjabat ketua pengadilan militer ini.

Pengadilan Militer, lanjut Ta­ma, juga berhak memanggil sak­si-saksi dari sipil yang ketera­ngannya dibutuhkan di persida­ngan. "Makanya tidak boleh ter­tutup persidangannya, walaupun ini disebut pengadilan militer," tandasnya.

Para petugas di pengadilan militer semuanya anggota TNI yang berlatar belakang sarjana hukum. Anggota TNI yang ter­dakwa berhak didampingi pena­sihat hukum. Biasanya, kata Ta­ma, penasihat hukum berasal dari kesatuan anggota TNI yang dimejahijaukan.

Untuk mendapatkan pendam­pingan hukum, terdakwa menga­jukan surat permohonan kepada pimpinan kesatuan. Selanjutnya, pimpinan kesatuan menunjuk bagian hukum di kesatuan untuk mendampingi terdakwa.

Anggota TNI yang jadi terdak­wa juga diperbolehkan menggu­nakan jasa pengacara swasta. "Biayanya ditanggung terdakwa sendiri. Kalau (kuasa hukum) dari kesatuan tidak dibayar karena itu tugas instansi," papar Tama.

Penasihat hukum yang ditun­juk kesatuan untuk mendampingi terdakwa tak selalu anggota TNI. Bisa juga pegawai negeri sipil (PNS)yang bertugas di kesatuan itu. Syaratnya, dia harus sarjana hukum dan memiliki kapasitas untuk jadi penasihat hukum.

Tama mengimbau masyarakat tak alergi dengan persidangan di pengadilan militer. "Sama seperti di pengadilan umum. Kami ter­buka, tidak ada yang ditutup-tu­tupi. Kita memiliki acuan yang sama, yaitu KUHP (Kitab Hukum Undang-undang Pidana)," ujarnya.

"Hanya saja sebagai anggota TNI, kami juga memiliki KUHPM (Kitab Undang Undang Hukum Pidana Militer). Tetapi proses dan polanya ya sama saja dengan pengadilan umum. Lagi pula. pengadilan militer juga di bawah Mahkamah Agung. Sama kan." tandasnya Tama.

Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali memastikan, pengadu­an militer terbuka untuk umum sepanjang menyidangkan anggo­ta TNI yang melakukan tindak pidana. "Kalau pelanggaran kode etik itu tertutup." ujarnya.

Persidangan juga digelar tertu­tup jika menyangkut perkara su­sila dan perceraian. "Tertutup un­tuk semua badan peradilan," tandas Hatta. (jon), Sumber Koran: Rakyat Merdeka (17 April 2013/Rabu, Hal. 03)