Senin, 08 April 2013

PERINGATAN SEBELUM PEMBANTAIAN



Mesin jahit merek Singer berwarna putih itu masih terbungkus plastik. Ter­geletak di atas meja ru­mah Nona di Bantul, itu­lah kado ulang tahun terakhir Yohanis Juan Manbait untuk keluarganya tersebut. Ber­sama Hendrik Angel Sahetapy, Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu, dan Adrianus Can­dra Galaja, Sabtu dinihari tiga pekan lalu, Juan tewas diserang anggota Komando Pa­sukan Khusus Grup 2 Kandang Menjangan, Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah, saat ditahan di penjara Cebongan, Sleman. Tiga hari sebelumnya, mereka berempat di­tangkap karena dituduh membunuh Ser­san Kepala Santoso di Hugo's Cafe di depan Hotel Sheraton Mustika, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Nona berulang tahun ke-31 pada 20 Ja­nuari lalu, tapi hadiah itu diberikan Juan delapan hari kemudian. Ketika Nona ber­ulang tahun, Juan tengah menjalani reha­bilitasi ketergantungan narkotik di Rumah Sakit Grhasia, Pakem, Sleman. Mesin jahit seharga Rp 1,9 juta itu dia hadiahkan kepada Nona sehari setelah keluar dari rumah sakit. "Bang Jo minta saya belajar menja­hit dan membuatkan baju untuknya," kata Nona.

Singer ini mengingatkan Nona pada pe­san Juan ketika mereka bertemu terakhir kali di tahanan Kepolisian Daerah Yogya­karta, sehari sebelum Juan dihabisi di Ce­bongan. Menurut Nona, Juan hari itu men­dengar selentingan kabar bakal jadi sasar­an balas dendam teman-teman Santoso di Kopassus Kandang Menjangan. Juan me­ngatakan ada kabar dia akan ditembak. "Bangjo bilang kun fayakun (apa yang ter­jadi, terjadilah)," ujarnya.

Sebelumnya, sejumlah pesan pendek yang menyatakan akan ada sweeping dan balas dendam atas kematian Santoso be­redar di kalangan warga Nusa Tenggara Ti­mur di Yogyakarta. Dua hari sebelum pe­nyerbuan ke Cebongan, Nona juga mene­rima SMS dari istri seorang anggota Briga­de Mobil, sahabatnya, di Yogyakarta. Juan pernah menjadi anggota Brimob Gondoluwung, Bantul, Yogyakarta, dan tiga tahun bertugas di Aceh. Isi pesan pendek itu peri­hal adanya sweeping oleh anggota Kopassus terhadap warga asal NTT. "Di sini pada ta­kut. Tiga mobil Kopassus sweeping," menu­rut pesan pendek di telepon seluler Nona.

Nona juga menerima pesan dari teman-teman Juan agar tak berkunjung ke asrama NTT di Tegal Panggung, dekat Stasiun Lempuyangan. Menurut Nona, teman-teman Juan sesama asal NTT pada Rabu itu sudah tahu Juan dan tiga kawannya bakal diha­bisi saat ditahan di Polda Yogyakarta. Ke­saksian Nona cocok dengan pernyataan se­jumlah sumber Tempo. Sumber itu menga­takan intelijen Kopassus diduga bermain mata dengan polisi menjelang penembak­an empat tahanan di Lembaga Pemasyara­katan Cebongan.

Menurut sumber itu, serangan ke Cebo­ngan bukan operasi tertutup. Setidaknya, ujar dia, intelijen polisi dan intelijen Ten­tara Nasional Indonesia sudah sama-sama tahu. Sumber itu mengatakan Juan dan tiga rekannya sesungguhnya bakal dieksekusi oleh sejumlah anggota Kopassus ketika berada di tahanan Polda pada 21 Maret 2013 malam atau sehari sebelum penem­bakan. "Mau disikat di dalam. Lalu Kapol­da bilang ke intel Kopassus, 'Jangan begitu. Kalian mau bikin malu saya,'" kata sumber itu menirukan Kepala Kepolisian Daerah Yogyakarta Sabar Rahardja.

Sabar membantah jika pihaknya disebut tahu akan adanya serangan itu. Ditemui Jumat pekan lalu seusai salat Jumat di mas­jid di kompleks Polda DIY, dia menegaskan bahwa pihaknya tak tahu sama sekali ba­kal ada penyerangan. "Belum tahu, demi Allah. Makanya tenang-tenang waktu itu," ucap Sabar sembari mendongak ke langit.

Sebelumnya, beredar pula kabar ken­cang di kalangan warga NTT bahwa anggo­ta Kopassus berencana akan mengekseku­si Juan dkk pada Kamis siang, dua hari se­belum mereka dibunuh. Ketika itu, Juan dan tiga kawannya menjalani rekonstruksi pembunuhan Santoso di Hugo's Cafe, dua kilometer arah barat Bandar Udara Adisutjipto. Tapi pada saat itu rekonstruksi dija­ga ketat oleh polisi. Kabar Juan dan kawan-kawan akan dibunuh tak terbukti.

Pengakuan Ketua Paguyuban Flobamora (Flores, Sumba, Timor, dan Alor) Hillarius Mero menguatkan ihwal rencana se­rangan oleh Kopassus. Ia menyatakan sem­pat diminta mampir oleh pimpinan inteli­jen di sebuah kesatuan kepolisian. Hillarius diberi informasi intelijen tentang ge­rakan tiga mobil berisi sejumlah anggo­ta Kopassus yang berencana menghabisi Juan dan kawan-kawan. Mendapat infor­masi itu, dia buru-buru meninggalkan kan­tor polisi dan pulang ke rumahnya lewat jalur yang tak biasa. "Saya memutar. Nge­ri juga saya," kata Hillarius. Dia lalu segera menyebarkan pesan pendek ke komuni­tas NTT di Yogyakarta. Ia meminta mereka berhati-hati.

Kakak kandung Juan, Vicktor Manbait, mengatakan, sebelum peristiwa penem­bakan, Juan juga meminta adiknya yang menghuni asrama NTT di Tegalpanggung berhati-hati. Dia mengirimkan nasihat itu ke nomor ponsel seorang adiknya. "Isi SMS-nya, ,'Kamu hati-hati, jangan keluar malam. Saya ditipu polisi. Saya tidak bersalah dalam peristiwa itu,'" ujarnya. Menurut Vicktor, Juan kecewa ditetapkan se­bagai tersangka karena sebenarnya bukan dia yang melakukan pembunuhan. Juan saat itu berusaha melerai.

Tim investigasi TNI memang telah me­nyatakan bahwa anggota Kopassus adalah pelaku penyerangan di Cebongan. Tem­po berulang kali mengontak dan menda­tangi petinggi Kopassus Grup 2 Kandang Menjangan di Kartasura, tapi tak menda­pat jawaban. Jawaban ringkas baru dibe­rikan Perwira Seksi Intel Kopassus Grup 2 Kandang Menjangan Kapten Benny Angga, Jumat pekan lalu. Ia mengatakan pimpinan di markas tersebut berada di Jakarta hing­ga pertengahan April. "Ikut apel dansat (komandan satuan) sampai 16 April," kata Angga. Di Jakarta, Jumat pekan lalu, Mayor Jenderal TNI Agus Sutomo menyatakan, se­bagai komandan, dia yang paling bertang­gung jawab. "Sebelas orang itu anak buah saya dan sayalah atasannya, Mayjen TNI Agus Sutomo," ujarnya. (SUNUDYANTORO, SHINTA MAHARANI, PITO AGUSTIN RUDIANA, MUH. SYAIFULLAH (YOGYAKARTA), AHMAD RAFIO (SUKOHARJO), Sumber: Majalah Tempo (14 April 2013/Minggu, Hal. 80-81)