Rabu, 10 April 2013

Persidangan Kopassus Terbuka



JAKARTA (Suara Karya): Per­sidangan kasus penyerangan Lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta, akan digelar secara terbuka. Karena itu, KSAD Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo mempersila­kan masyarakat mengikuti persidangan tersebut. "Mari kita ikuti ramai-ramai proses persidangan nanti. Semua dikontrol. Ja­di, jangan menduga ini itu. Tidak boleh," kata Pramono menjawab pertanyaan pers di Jakarta, kemarin.

Dalam kesempatan terpi­sah, kemarin, di Semarang, Kapendam IV/Diponegoro Ko­lonel Inf Widodo Raharjo mengumumkan inisial 11 pe­laku penyerangan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Ce­bongan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Mere­ka adalah Sersan Dua US, Sersan Satu S, Sersan Satu TJ, Sersan Satu AR, Sersan Dua SS, Sersan Satu MRPB, Sersan Satu HS, Sersan Dua IS, Kopral Satu K, Sersan Ma­yor R, dan Sersan Mayor MZ.

Menurut Widodo, para anggota Kopassus yang didu­ga melakukan penyerangan ke Lapas Cebongan itu .akan didampingi tim penasihat hukum yang disiapkan TNI. Para tersangka itu diperiksa 38 penyidik, yang ter­diri atas tiga perwira Pus-pom dan 35 dari Pomdam wilayah Denpom Semarang, Yogyakarta, dan Solo. "Pe­nyelidikan tak ditarget satu minggu atau berapa, yang pasti secepat-cepatnya," ka­ta Widodo. Setelah penyelidikan se­lesai dilakukan, berkas dan hasilnya akan diberikan ke­pada Ouditur Militer II-11 Yogyakarta.

Sementara itu, KSAD Jenderal Pramono Edhie Wi­bowo mengatakan, pihaknya akan mengevaluasi kembali penerapan jiwa korsa TNI. "Dievaluasi, kapan jiwa kor­sa dipakai, kapan 'enggak boleh," ucapnya. Pramono menambahkan, penamaan jiwa korsa tak salah. "Seorang militer harus punya jiwa korsa, karena itu adalah rohnya," ujarnya.  Menurut Pramono, jika seorang prajurit tak memiliki jiwa korsa, maka ketika pe­rang dan temannya terluka akan ditinggalkan begitu sa­ja. "Kalau dia tak punya jiwa korsa, suatu saat kawannya terluka dalam pertempuran mau ditinggal atau mau di­bawa, ditinggal padahal dia masih terluka, tetapi tidak bisa berjalan. Kalau dibawa digotong harus empat orang tak bisa menembak, dan suatu saat dalam perjalanan digotong teman yang terluka' oleh empat yang tak bisa menembak, dihadang lagi mati, itu dia kalau tidak pu­nya jiwa korsa, dia tinggal temannya di situ. Namanya, jiwa korsa itu tidak salah dalam penanamannya, mungkin salah dalam pene­rapannya," ujarnya.

Sementara itu, ratusan mantan anggota Kopassus di Provinsi Banten kemarin melakukan aksi solidaritas melalui penggalangan dana bagi korban tragedi Lapas Cebongan. Itu dilakukan oleh sembilan eks prajurit "Korps Baret Merah" dengan' cara mendatangi rumah-ru­mah mantan anggota Kopas­sus di wilayah itu.

Kesembilan orang itu membawa kotak sumbangan dan mempelester mulut sebagai simbol meminta ma­syarakat agar tidak ikut memprovokasi kasus penye­rangan Lapas Cebongan de­ngan menyudutkan anggota Kopassus. Mereka menda­tangi rumah-rumah mantan anggota Kopassus, antara lain di luar Markas Grup I, di Taktakan, Serang, Banten.

Sejumlah istri dan anak-anak yang rumahnya dida­tangi tim solidaritas ini tam­pak antusias memberikan bantuan dengan mengisi ko­tak sumbangan uang serta karung berisi beras yang dibawa oleh tim solidaritas tersebut. Beberapa istri mantan Kopassus bahkan meneteskan air mata.

Juru bicara gerakan soli­daritas mantan Kopassus, Samita, mengatakan, ge­rakan solidaritas ini akan dilakukan tak hanya di Pro­vinsi Banten, tetapi juga di seluruh Indonesia. "Tujuan gerakan ini sebagai bentuk simpati kepada korban pra­jurit Kopassus Sertu Heru Santoso, yang tewas dibacok oleh sekelompok pereman di Yogyakarta, beberapa waktu lalu," ujarnya.

Seluruh hasil dari peng­galangan dana, tutur Samita, akan diserahkan kepada kera­bat Sertu Heru Santoso dan juga kepada keluarga yang diduga sebagai pelaku penem­bakan di Lapas Cebongan. (Sugiharto/Wisnu/Antara/Feber). Sumber : Suara Karya hal.16, 10/04/13