Rabu, 24 April 2013

SBY Harus Mereformasi TNI Sebelum Pensiun



Selasa, 23 April 2013 19:17 wib

JAKARTA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diminta mereformasi TNI dengan mendorong DPR merevisi UU Peradilan Militer sebelum mengakhiri masa tugasnya tahun depan.

Hal tersebut disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan (KMSRSK) menanggapi peristiwa kekerasan oleh oknum TNI yang terus saja terjadi.

"Semua kejadian kekerasan yang melibatkan oknum tentara berimplikasi kepada tidak adanya efek jera pelaku karena tidak adanya penghukuman yang adil. Reformasi peradilan militer merupakan keharusan konstitusional yang harus dijalankan Presiden dan DPR RI,” kata Direktur Imparsial Pungky Indarti di kantornya, Selasa (23/4/2013).

Pungky menilai, kekerasan yang dilakukan para anggota Batalyon Zeni Konstruksi/13 yang memukuli empat anggota staf PDI Perjuangan beberapa waktu lalu akan terus terjadi.

Padahal di saat yang sama proses pengusutan kasus pembunuhan empat tahanan di LP Cebongan serta pembakaran dan penganiayaan Polres Ogan Komering Ulu (OKU) Sumatera Selatan belum tuntas.

"Kami menyesalkan adanya sifat permisif atas kekerasan anggota TNI selama ini dengan alasan jiwa korsa atau solidaritas. Kami juga menyesalkan dibenarkannya pembunuhan dengan alasan melawan premanisme," tegasnya.

Dia menambahkan, sikap permisif dan permakluman yang muncul selama ini tak lepas dari sikap Presiden SBY maupun pihak lain yang menilai para pelaku pembunuhan tahanan LP Cebongan itu sebagai kesatria.

Menurutnya, dengan sikap SBY yang seperti itu justru akan menambah panjang kekerasan. Padahal kesatria itu selalu mengakui perbuatannya di awal-awal, bukan di belakang ketika kasus itu mulai terungkap.

"Lihat sekarang kasus kekerasan tentara dilakukan di kantor parpol (PDIP) yang padahal parpol punya power (besar). Bagaimana kalau rumah kita yang kena, siapa yang akan menolong? Mau gak mau kita harus desak pemerintah untuk serius mengubah peradilan militer ini,” urainya.

Selain itu, Pungky juga meminta Presiden SBY segera merestrukturisasi komando teritorial terkait reformasi reformasi TNI. Pasalnya, sebagai bagian dari gelar kekuatan TNI, komando teritorial yang dibentuk pada masa lalu dan masih kuat hingga saat ini tidak bisa dilepaskan dari menguatnya politik militer di masa Orde Baru. "Sebab dalam catatan kami beberapa kasus kekerasan yang terjadi terdapat oknum anggota TNI yang berada dalam kendali Komando Teritorial," sambungnya.

Sementara itu, Ketua Setara Institute Hendardi mengaku pesimistis bahwa reformasi peradilan militer bisa terjadi di pemerintahan SBY. Menurutnya SBY sudah tidak menjalankan reformasi selama menjabat sebagai presiden.

"SBY terkesan membiarkan saja kekerasan yang dilakukan militer terhadap sipil. Padahal selama UU Peradilan Militer belum direvisi, maka berbagai persoalan kekerasan itu selalu akan muncul," ungkapnya.

Ditegaskan Hendardi, perlu dilakukan perubahan terhadap UU TNI dengan mengikutsertakan pihak eksternal. Sebab peradilan militer berpeluang tidak transparan dan terkesan melindungi para atasan TNI. Alhasil, oknum-oknum yang masih berpangkat rendah yang akan dijadikan sebagai korban.

"Kami dijanjikan peradilan militer lebih berat daripada peradilan sipil. Ini bukan persoalan hukuman berat atau ringan, tapi persoalan hukuman tersebut harus transparan," tegasnya. Sumber : news.okezone.com