Senin, 10 Juni 2013

Sidang Kasus LP Cebongan Pertengahan Juni_LPSK Minta Sidang dengan “Teleconference”


[YOGYAKARTA] Ko­mandan Korem (Danrem) 072 Pamungkas, Brigjen TNI Adi Widjaja memasti­kan, sidang 12 prajurit Kopassus Grup II Kartasura, pelaku penembakan di Lem­baga Pemasyarakatan Cebongan, digelar pada perte­ngahan bulan Juni di Peng­adilan Militer Yogyakarta.

"Rencananya tanggal 15-an. Pokoknya, sebelum memasuki bulan puasa ini. Pengamanan sidang akan dilakukan dengan peng­amanan terbuka dan tertu­tup," kata Adi Widjaja, Ju­mat (7/6).

Danrem 072 Pamung­kas mengatakan, TNI AD telah melakukan koordinasi dengan Polda DIY untuk pengamanan jalanya si­dang. Jumlah personel yang akan dikerahkan da­lam pengamanan sidang menurutnya tergantung si­tuasi sidang.

"Jumlah personel pengamanan bergantung pada jad­wal berapa yang akan menja­lani sidang. Sidang kasus pe­nyerangan ini tidak hanya se­hari, namun bisa berkelanjut­an. Karena sidang akan dipe­cah-pecah," tegasnya.

Menanggapi permintaan teleconference oleh Lemba­ga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Adi Widjaja menuding bahwa hal itu hanyalah permintaan dari LPSK, sedang para saksi se­sungguhnya bersedia datang langsung. Menurut Adi, ti­dak ada saksi yang merasa keberatan untuk memberi­kan, kesaksian langung di Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta. "Yang meng­inginkan itu (teleconference, Red) LPSK atau saksi­nya?" katanya.

Terpisah, Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai, melalui siaran persnya, Kamis (6/6) menyebutkan, pernyataan Danrem 072 Pamungkas tersebut, bersebrangan de­ngan permintaan para saksi.

"Pernyataan seperti itu tidak pantas diucapkan seo­rang Danrem, jika yang bersangkutan belum pernah membaca hasil rekam psi­kologis para saJksi dan tidak melihat langsung kondisi para saksi tersebut," tegas Abdul Haris.

Ia menegaskan, usulan menggunakan video conference (VCR) diambil hanya untuk mengakomodasi kepentingan saksi, yang ma­suk program perlindungan LPSK. Pernyataan ini se­kaligus menampik tudingan ada kepentingan dibalik penggunaan VCR.

"Semua biaya berasal dari APBN dan dimanfaat­kan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Sementara LPSK, hanya memiliki satu kepentingan untuk me­lindungi para saksi dan korban. Kami tidak punya pro­blem pendanaan apalagi ke­pentingan lain dalam peng­gunaan VCR, hal itu mumi untuk mengakomodasi ke­pentingan saksi yang masuk program perlindungan LP­SK," tandasnya.

Pernyataan Danrem di­khawatirkan justru akan menjadi sinyal buruk dalam pelaksanaan proses persidangan. Bukan tanpa dasar, karena jika saksi dibiarkan langsung berhadapan de­ngan para pelaku, dikhawa­tirkan akan membuat saksi ketakutan, tertekan dan bahkan mengalami trauma yang berulang. Jika hal itu terjadi, kesaksian pun bisa berjalan tidak maksimal. Dampaknya, hukuman bagi para pelaku tidak maksimal.

Diatur
Menurut Abdul Haris, metode VCR diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Kor­ban. Pasal ini menjelaskan, VCR bisa ditemptth jika sak­si atau korban merasa diri­nya berada dalam ancaman yang sangat besar ketika memberikan kesaksian.

Namun, usulan terkait penggunaan VCR ini me­mang belum mendapat per­setujuan dari Mahkamah Agung (MA). Wacana teleconference mencuat setelah hasil investigasi yang dila­kukan LPSK menunjukkan bahwa para saksi tak berse­dia memberikan kesaksian secara langsung dengan alasan masih trauma.

Jika disetujui, rencana­nya akan ada tiga titik yang dilengkapi peralatan teleconference yakni di Lapas Kelas 2B Sleman, di Peng­adilan Militer II-11 Yogya­karta, serta satu lagi berada di kantor LPSK Jakarta. [152], Sumber Koran: Suara Pembaruan (08 Juni 2013/Sabtu, Hal. 13)