Senin, 24 Juni 2013

SIDANG SUMPEK KASUS CEBONGAN


Pengadilan Militer Yogyakarta dianggap tak siap menggelar sidang kasus Cebongan. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban khawatir terhadap keselamatan para saksi.

SERGAHAN itu menyelinap ketika Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Siti Noor Laila diwawancarai wartawan di ruang tamu Pengadilan Militer Yogyakarta, Kamis siang pekan lalu. "Kalian pasti dibiayai luar negeri!" kata pria tak dikenal itu. "Dasar antek-antek Amerika!" Belum habis rasa kaget Siti, belasan pria merubung perempuan itu seraya menyergah, "Komnas HAM pengkhianat!"

Siti mundur, lalu berlindung di ruangan Kepala Tata Usaha Pengadilan. Sejumlah tentara menjaga pintu agar para pria berbaju loreng hitam-merah itu tak menerobos. Siti menelepon sopirnya agar memarkir mobil di depan pintu utama pengadilan. Setengah jam kemudian, ia keluar dari ruangan dan menerobos kerumunan orang-orang yang menamakan diri "Aliansi Masyarakat Sipil Tolak Intervensi Propaganda Kebebasan HAM". Dikawal seorang tentara berseragam, Siti masuk ke mobil Toyota Innova yang telah menunggunya.

Ketika Siti menuju mobil, intimidasi kepada perempuan 45 tahun itu makin menjadi-jadi. Ia diteriaki "pelacur" dan berbagai nama hewan. Kerumunan itu kemudian memukuli kaca dan kap mobilnya. Beberapa di antara mereka bahkan memprovokasi agar memerkosa Siti dan membakar mobilnya. "Untung saja teriakan itu tak dituruti massa," ujar Tri Wahyu, anggota Koalisi Rakyat Pemantau Militer, yang menyaksikan peristiwa itu.

Sejak pagi Siti Noor Laila berada di pengadilan militer di kawasan Banguntapan, Bantul, Yogyakarta, itu. Ia bermaksud mengikuti sidang 12 anggota Komando Pasukan Khusus yang didakwa menyerbu dan membunuh empat tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Yogyakarta, pada 23 Maret lalu. Ia berencana mengikuti penuh sidang hari itu, yang diperkirakan berakhir sore. Intimidasi tadi membuyarkan rencana itu. "Suasananya sudah tidak kondusif," katanya.

Sidang perdana itu mengagendakan pembacaan dakwaan terhadap 12 anggota Kopassus, yang dipisah ke dalam empat berkas. Berkas pertama dengan terdakwa Sersan Dua Ucok Tigor Simbolon, Sersan Dua Sugeng Sumaryanto dan Kopral Satu Kodik. Berkas kedua dengan terdakwa Sersan Satu Tri Juwanto, Sersan Satu Anjar Rahmanto, Sersan Satu Marthinus Roberto Paulus, Sersan Satu Herman Siswoyo, dan Sersan Satu Suprapto. Berkas ketiga dengan terdakwa Sersan Dua lkhmawan Suprapto. Berkas keempat dengan terdakwa Sersan Mayor Rokhmadi, Sersan Mayor Muhammad Zaenuri, dan Sersan Kepala Sutar. Mereka anggota Grup 2 Kopassus Kandang Menjangan, Kartasura, Jawa Tengah.

Pemisahan berkas berdasarkan peran para terdakwa. Ucok Tigor Simbolon dianggap tokoh sentral dalam kasus ini. Pada 22 Maret, Ucok mendapat kabar Sersan Kepala Heru Santoso tewas ditikam di Hugo's Cafe, Yogyakarta, setelah terjadi pembacokan atas Sersan Satu Sriyono. Keduanya mantan anggota Kopassus dan teman dekat Ucok, yang ketika itu sedang berlatih di Gunung Lawu. Ia turun ke Markas Kandang Menjangan, lalu mengajak Sugeng dan Kodik.

Heru diduga tewas dibunuh kelompok Hendrik Angel Sahetapy alias Deki, yang beranggotakan Yohanis Juan Manbait, Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu alias Adi, dan Adrianus Candra Galaja alias Dedi. Sriyono diberitakan di aniaya kelompok Marcel. Sabtu dinihari, mereka mendatangi penjara Cebongan, tempat Deki cs ditahan, dan memaksa masuk. Keempatnya tewas diberondong peluru AK-47 di sel A5, di depan tahanan lain. "Ucok berperan sebagai eksekutor," ucap Oditur Militer Letnan Kolonel Budiharto, membacakan dakwaan.

Karena itu, para terdakwa di berkas pertama hingga ketiga didakwa dengan pasal pembunuhan berencana dan penganiayaan, dengan ancaman hukuman mati. Para terdakwa di berkas keempat dijerat dengan Pasal 121 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer karena dianggap tidak memberitahukan informasi situasi keamanan kepada atasan. Namun dakwaan itu tak memuaskan banyak pihak. "Seharusnya atasannya ikut ditangkap," kata Haris Azhar, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).

Haris menyayangkan oditur militer mengabaikan pesan pendek (SMS) yang beredar sehari sebelum penyerbuan. Pesan itu berisi peringatan bagi para polisi yang dianggap lemah dalam menuntaskan kasus pembunuhan Heru Santoso dan, karena itu, Kopassus bergerak untuk membalas kematian rekan mereka. Beberapa hari sebelum pembunuhan, petinggi Kepolisian Daerah Yogyakarta bertemu dengan sejumlah perwira TNI Angkatan Darat. Haris menyatakan bukti pendukung perencanaan pembunuhan di dalam dakwaan juga lemah. "Dakwaan dibuat seperti tak siap," ujarnya.

Selain diikuti Ketua Komnas HAM dan Koordinator Kontras, sidang itu dihadiri unsur Komisi Yudisial, Mahkamah Agung, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), serta berbagai lembaga swadaya masyarakat. Komisi Yudisial hadir untuk memastikan hakim adil dan menjalankan sidang sesuai dengan aturan. Tapi sidang perdana itu dianggap tak memuaskan. "Panitia sidang tidak punya persiapan yang cukup," ucap Siti Noor Laila.
Intimidasi yang dialaminya, kata Siti, bisa menjadi bukti ketidaksiapan aparat. Penjagaan sidang dianggap tidak maksimal karena hanya melibatkan sedikit tentara. Polisi tidak dilibatkan dalam pengamanan sidang. Padahal sidang itu dihadiri seratusan pengunjung yang berkelakuan seperti preman. Siti melihat beberapa pengunjung membawa senjata di dalam ruang sidang. Tentara tak terlihat mencegah berbagai ancaman ini. Hakim juga tak ikut menegur dan mengingatkan pengunjung. "Sidangnya seperti berat sebelah," ujarnya.

Spanduk dukungan kepada Kopassus dibiarkan memenuhi gedung pengadilan. Di pelataran, ada kerumunan yang berorasi dengan megafon dan berteriak tak henti-henti. Suara mereka terdengar hingga ke dalam ruang sidang. Ruangan yang sempit dan penuh pengunjung serta penyejuk udara yang tak bekerja membuat suasana makin suntuk. Banyak orang memaksa masuk ke ruang sidang meski di luar gedung sudah dipasang layar lebar dan pengeras suara yang menyiarkan persidangan. Namun, sekali lagi, tak ada upaya pencegahan dari para tentara.

Menurut Wakil Ketua LPSK Lies Sulistiani, suasana sidang yang tak kondusif berpotensi mengancam jiwa dan situasi psikologis para saksi. Mereka bisa saja tidak obyektif memberikan keterangan. Pengadilan berencana menghadirkan 42 saksi, 31 di antaranya tahanan yang melihat pembunuhan. "Tidak ada yang bisa menjamin keamanan para saksi," ucap Lies. Para tahanan yang akan bersaksi, kata dia, saat ini masih mengalami trauma karena melihat langsung pembunuhan itu. Apalagi mereka sendiri sempat diancam akan dibunuh.

Komisi Yudisial dan LPSK menawarkan solusi memindahkan sidang ke gedung yang lebih besar. Para saksi diusulkan memberikan keterangan lewat telekonferensi agar keamanan mereka terlindungi. Ide ini sempat ditolak. Namun Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono sudah memberikan sinyal mendukung ide itu, Kamis pekan lalu. "Yang penting keterangan saksi bisa diambil," ujarnya. Untuk pengamanan sidang, Ketua Pengadilan Militer Yogyakarta Laksamana Muda A.R. Tampubolon berjanji meningkatkan jumlah personel. Namun ia tak bisa mencegah kedatangan para pendukung Kopassus. "Saya mengerti perasaan para pendukung itu," katanya. ((MUSTAFA SILALAH), TRI ARTINING PUTRI, FARDHANI RAMADHANA (JAKARTA) & (PITO AGUSTIN RUDIANA, MUHAMMAD SYAIFULLAH (YOGYAKARTA)), Sumber: Majalah Tempo (30 Juni 2013/Senin, Hal. 110-111)