Rabu, 19 Juni 2013

Trauma Saksi Cebongan


Komandan Komando Resor Militer (Korem) 072/ Pamungkas Yogyakarta, Brigadir Jenderal TNI Adi Widjaja, telah keliru menyimpulkan bahwa para saksi kasus penyerangan penjara Cebongan, Sleman, bebas dari trauma. Faktanya, mereka mengalami kecemasan akut, bahkan ada yang depresi berat. Jenderal Adi Widjaja semestinya membaca dan memahami terlebih dulu rekaman psikologis 42 saksi itu.

Laporan tim psikologi menyebutkan bahwa sebagian besar saksi tidak siap memberikan keterangan di persidangan. Mereka umumnya masih trauma. Ada saksi yang sering bermimpi buruk. Sebagian yang lain dihantui ketakutan disertai keringat dingin ketika mengingat penyerbuan oleh belasan anggota Komando Pasukan Khusus Grup 2 Kandang Menjangan, Kartasura, tiga bulan lalu itu.

Untuk mengatasi hal tersebut, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyiapkan perangkat video conference bagi para saksi dalam persidangan yang mulai digelar pekan ini di Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta. Langkah itu ditempuh sebagai upaya menghindarkan para saksi dari tekanan fisik ataupun psikologis ketika melihat tentara pelaku aksi brutal yang membunuh empat tahanan Cebongan dalam persidangan.

Dikhawatirkan, tekanan itu akan membuat kesaksian mereka tidak sesuai dengan kenyataan atau berbeda dengan keterangan dalam berita acara pemeriksaan (BAP). Kesaksian yang dilandasi ketakutan atau kecemasan akan mempengaruhi upaya pengadilan mengungkap kasus penyerbuan dan tokoh di balik aksi tersebut. Hal ini juga bisa mempengaruhi vonis karena hakim pada umumnya lebih memilih kesaksian di pengadilan dibanding BAP.

Sebagai seorang komandan militer, Jenderal Adi seharusnya peka terhadap trauma para .saksi. Dia juga sepatutnya menghormati ikhtiar Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk membantu para saksi. Selain terus-menerus mendampingi, lembaga ini mencarikan tenaga konseling untuk memantau perkembangan kejiwaan para saksi. Tak tanggung-tanggung, sebanyak 18 psikolog dilibatkan dalam pemulihan mereka dari depresi.

Lagi pula, keterangan saksi dalam persidangan yang dilakukan secara tidak langsung dibenarkan. Pada Pasal 9 Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban dijelaskan, para saksi yang merasa dirinya dalam ancaman, atas persetujuan hakim, dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan. Kesaksiannya bisa didengarkan melalui sarana elektronik, dalam hal ini video conference.

Alasan Brigadir Jenderal Adi Widjaja bahwa jarak antara tempat tinggal saksi dan lokasi sidang hanya beberapa kilometer tidaklah pas untuk dijadikan argumentasi. Jaminan keamanan yang ditawarkan Danrem kepada semua saksi juga tidak akan banyak membantu. Masalahnya bukan seputar keamanan atau jarak tempuh tempat tinggal saksi dari pengadilan. Para saksi ketakutan hadir di arena sidang karena akan berhadapan langsung dengan para terdakwa.

Karena itu, majelis hakim Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta sebaiknya segera merespons surat permintaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban soal kesaksian tidak langsung. Keputusan majelis hakim menyetujui permohonan itu sangat ditunggu. Dasarnya, selain faktor keselamatan saksi, demi penegakan hukum kasus penyerbuan penjara Cebongan yang adil. Sumber: Koran Tempo (19 Juni 2013/Rabu, Hal. 02)