Selasa, 16 Juli 2013

KASUS JANGGAL PARA JENDERAL


Seorang inspektur TNI divonis gara-gara lupa mengembalikan dokumen. Dugaan korupsi yang diungkapnya malah tak disentuh.

HUKUM tidak boleh memakai perasaan, tapi memakai logika. Dalam kasus Brigadir Jenderal Purnawirawan Heru Sukrisno, logika itu hilang. Pekan lalu, ia dihu­kum oleh pengadilan militer karena lupa mengembali­kan dokumen audit pembelian pesawat Fokker 50. Tapi dugaan ko­rupsi dalam pembelian pesawat tersebut, yang diungkap Heru da­lam auditnya, justru tak disentuh hukum.

Selama 2000-2006, Heru bertugas sebagai inspektur logistik dan material pada Inspektorat Jenderal Markas Besar TNI Angkat­an Darat. Salah satu yang diaudit adalah pembelian pesawat Fok­ker 50. Audit Heru menemukan pembelian pesawat pada 2003 itu fiktif. Angkatan Darat mentransfer uang Rp 17,8 miliar ke PT Abatli Sentosa Perkasa, yang katanya adalah pemilik pesawat. Namun pesawat itu tidak pernah menjadi milik TNI Angkatan Darat, tapi atas nama PT Transwisata Prima Aviation.

Siapa pun yang membaca audit Heru pasti tahu ada yang tidak beres dalam pembelian itu. Anehnya, aparatur hukum di tubuh militer tidak menindaklanjuti hasil audit itu. Mereka justru sibuk mencari-cari kesalahan Heru, yakni membocorkan sebuah doku­men tentang dugaan korupsi lain di tubuh militer. Dalam auditnya, Heru menemukan indikasi Wakil Asisten Logistik Mayor Jende­ral Koesmayadi memesan senjata lewat jalur tak resmi. Hasil audit itu sampai ke anggota DPR, Ade Daud Nasution, dan meledak di te­ngah publik. Pembocoran dokumen senjata tidak terbukti, tapi tu­dingan baru diberikan: Heru lupa mengembalikan dokumen audit pembelian pesawat.

Penegak hukum militer mencari-cari kesalahan Heru, tapi me­lupakan kasus yang telah diungkap Heru. Seharusnya hukum me­lindungi orang yang mengungkap adanya dugaan kejahatan da­lam organisasinya. Jangankan inspektur yang memang diberi tugas mengaudit, pelaku kriminal yang mengakui kesalahannya dan mengungkap kejahatan rekan-rekannya pun bisa mendapat keri­nganan hukuman. Apalagi inspektur yang hanya lupa mengemba­likan dokumen yang dipinjamnya.

Sebenarnya Komisi Pemberantasan Korupsi telah memiliki whistle-blower's system, yang melindungi orang-orang yang mela­porkan dugaan korupsi di organisasi tempat dia bekerja. Tapi ka­sus Heru tidak bisa ditangani oleh KPK. Kasus ini terjadi saat dia masih aktif sebagai prajurit TNI. Sesuai dengan Pasal 9 Undang-Un­dang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Heru harus diadili di pengadilan militer.

Untuk menangani kasus yang berkaitan dengan kemiliteran, pengadilan militer memang tepat. Tapi, untuk kasus pidana bia­sa, apalagi korupsi, pengadilan militer memiliki banyak kelemah­an. Pengadilan ini tidak memiliki sistem whistle-blower, tidak didu­kung penyidik yang berpengalaman di bidang korupsi, tidak pu­nya sistem penyadapan secanggih KPK, dan yang terpenting, inde­pendensi mereka diragukan.

Bagaimanapun, ada bias saat mengusul kasus yang melibatkan orang yang berpangkat lebih tinggi. Kesan ada upaya untuk melu­pakan kasus besar yang dilakukan oleh mereka yang berpangkat lebih tinggi kuat tercium dalam kasus Brigjen Heru.

Sudah seharusnya ketentuan dalam Pasal 9 Undang-Undang Peradilan Militer itu direvisi. Anggota militer hanya diadili di peng­adilan militer untuk kasus yang berkaitan langsung dengan tu­gas kemiliteran. Sedangkan untuk kasus pidana, termasuk korup­si, mereka dihadapkan ke pengadilan umum. Usul untuk revisi ini sudah pernah diajukan pemerintah pada 2005-2006, tapi dihenti­kan Presiden Susilo Bambang Vudhoyono. Sumber: Majalah Tempo (21 Juli 2013/Minggu, Hal 32)