Rabu, 10 Juli 2013

Mursi, Tentara Mesir dan TNI


Ketika lebih dari 1 juta massa 2 tahun yang silam numplek di Lapangan Tahrir, Kairo, menuntut Presiden Hosni Mubarak segera mengundurkan diri. Mubarak yang sudah berkuasa hampir 30 tahun bersikeras tidak mau mundur. Dewan Mi­liter Mesir mengeluarkan pernyataan keras, meminta agar pemerintah segera mencari solusi untuk mengakhiri krisis politik. Sebelum situasi semakin gawat, pimpinan Angkatan Bersenjata Mesir menggulingkan pemerintahan Mubarak, bahkan menahan Mu­barak dan sejumlah konconya.

Mursi menggantikan Muba­rak. Tidak lama kemudian, Mursi membubarkan parlemen, membekukan konstitusi dan meminta pe­milu dalam 6 bulan. Setelah memenangkan pemilu, ia terus mem­perkuat kekuasaannya, bahkan lewat perubahan konstitusi pada Desember 2012, menjadikan dirinya pemimpin dengan kekuasaan omnipoten. Pemerintahannya diisi oleh orang-orang dekatnya. Sebelum mengubah konstitusi, pada Agustus 2012 ia pensiun dinikan dua jenderalnya yang berperan penting dalam penggulingan Mu­barak. Mereka adalah Marsekal Mohamed Hussein Tantawi, Menteri Pertahanan selama 20 tahun, dan Jenderal Sami Hafez Anan, Kepala Staf Angkatan Darat. Pada waktu yang sama Presiden Mursi mengangkat Jenderal Abdel Fattali el-Sisi sebagai Kepala Badan Intelijen; bahkan kemudian memercayakannya jabatan Menteri Pertahanan merangkap Panglima Angkatan Bersenjata.

Kecenderungannya menjadi "diktator baru" mengundang perlawanan sengit dari lawan-lawan politiknya. Oposisi berhasil memprovokasi rakyat untuk bergerak menumbangkan pemerintahan Mursi. Situasi pada 2011 terulang kembali: dua kubu pro dan kontra Mursi siap bertarung habis-habisan. Teori Spiral Kebisuan berlaku: para pendukung Ikliwanul Muslimin-benteng kekuatan Mursi agak terpojok. Pada detik-detik yang kritis, jumlah massa anti-Mursi ditaksir mencapai 1,5 juta.

Jenderal Abdel Fattah mem­berikan ultimatum agar dalam tempo 48 jam presiden mengadakan kesepakatan dengan oposisi. Tatkala Mursi mengabaikan ulti­matum Jenderal Abdel Fattah dan pasukannya bergerak menggu­lingkan kekuasaan Mursi, bahkan langsung menahannya. Jutaan rakyat Mesir kegirangan menyambut tindakan tentara. Kejadian dua tahun yang lalu terulang kembali tatkala tentara menggu­lingkan pemerintahan Mubarak.

Kudeta angkatan bersenjata di Mesir, tampaknya, mendapat perhatian saksama dan berbagai ke­kuatan politik di Indonesia. Presi­den SBY terus memantau, kata Jurubicara Kepresidenan, Julian Pasha. Secara implisit SBY menyesalkan kudeta tersebut, sebab Mursi adalah presiden yang dipilih melalui pemilu demokratis.

"Bisakah peristiwa di Mesir terjadi di Indonesia?" Beberapa orang bertanya kepada saya.

Saya jawab spontan: kemungkinan itu amat kecil.

Pasal 194 konstitusi Mesir 2012 yang "diciptakan" pemerintah Mursi mengatakan Angkatan Bersenjata Mesir milik rakyat. Fungsi utamanya melindungi negara dan memelihara keamanan dan integritas wilayah negara. Pasal 193 mengatur Dewan Ke­amanan Nasional (National Secu­rity Council). Peran pokok DKN disebutkan: It identifies the thre­ats to homeland security within and beyond the national borders and the measures and steps that both the state and the People must take to thwart them."

Dua pasal penting Konstitusi 2012, oleh pimpinan Angkatan Bersenjata, diinterpretasikan se­bagai sikap proaktif tentara untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan, termasuk mengambilalih kekuasaan pemerintah manakala pimpinan AB menilai si­tuasi dalam negeri benar-benar mengancam keamanan dan integ­ritas bangsa dan negara. Jenderal Abdel Fattah dan kawan-kawannya pasti menilai situasi Mesir pekan lalu sudah berada di bibir jurang perang saudara yang sangat membahayakan keamanan dan integritas bangsa. Pengambilalihan kekuasaan terpaksa dilakukan demi menyelamatkan negara.

Bagaimana dengan TNI?
UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI mengatakan (Pasal 5) bahwa "TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik ne­gara." Ini berarti TNI tidak boleh bertindak dalam situasi apa pun sepanjang belum ada keputusan poli­tik negara. Keputusan politik nega­ra tidak lain keputusan yang diambil pemerintah bersama DPR.

Memang tugas TNI seperti diatur dalam Pasal 7 UU yang sama adalah "menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara." Tapi sekali lagi, TNI tidak bisa bergerak dan bertindak sendiri, bagaimana pun situasi politik di dalam negeri tanpa persetujuan DPR!

Kecuali itu, beberapa Jenderal memberitahukan saya, termasuk yang mantan bintang empat, bahwa (a) TNI dalam sejarahnya tidak mengenal kudeta; (b) TNI sudah kapok bermain politik. "Hukuman publik" terhadap kekeliruan TNI pada era Orde Baru, hingga sekarang, belum juga usai. Berbagai elemen kekuatan masyarakat sampai sekarang masih sering menggunakan "kacamata hitam" dalam menilai sepak terjang TNI. (c) Jabatan-jabatan strategis dan puncak di lingkungan TNI, termasuk Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan, kerapkali, diberikan ke­pada mereka yang pernah menjabat ajudan Presiden. Ajudan biasanya loyal kepada His Master. PENULIS adalah Dosen Sekolah Staf dan Komando (Sesko) TNI, Bandung, Sumber Koran: Suara Pembaruan (09 Juli 2013/Selasa, Hal. 10)