Senin, 08 Juli 2013

TNI dan Budaya Kekerasan Suku Dayak


Operasi penumpasan ge­rakan Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak/Pasukan Rakyat Kali­mantan Utara (PGRS/Paraku) di sepanjang perbatasan Republik Indonesia-Federasi Malaysia di Kalimantan, tahun 1966-1982, berimplikasi membangkitan kembali budaya kekerasan di kalangan suku Dayak di Kalimantan.

Ini dibuktikan dengan aksi pengusiran dan pembunuhan sadis sekitar 30.000 warga Tionghoa dari pedalaman dan perbatasan akibat pemberitaan di Radio Republik Indo­nesia (RRI) regional Pontianak pada 21 September 1967 yang mencatut nama Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray (Gubernur Kalimantan Barat, 1959-1966), untuk menyatakan perang terhadap PGRS/ Paraku.

Aksi pembunuhan dan pengusiran tersebut merupakan tragedi kemanusiaan paling memilukan sepanjang sejarah Kalimantan Barat. Aksi ter­sebut meletus di sejumlah titik, antara lain di luar Kota Bengkayang, Serimbu, Sungai Betung, Sebayaan, Selakau, Samalantan, Tumang, Mempawah Hulu, Menjalin, Toho, Sangking, Sungai Pinggan; Mandor, Capkala, Sosok, dan Ngabang.

Dari laporan masyarakat di lokasi kerusuhan, ada cukup banyak lelaki berkulit gelap dan rambut cepak berbaur di tengah massa yang perannya terkesan lebih sebagai provokator.

Pengungsi menumpuk di Sambas, Singkawang, dan Pontianak. Berdasarkan catatan Kodam XII/Tanjungpura pengungsi berjumlah 101.700 orang, 43.425 jiwa di antaranya kemudian diputuskan direlokasi di Peniti Kecil, Air Hitam, sekitar Tugu Khatulistiwa Siantan, Sedau dan Sungai Selamat. Insiden tahun 1967 kemudian ditetapkan pemerintah pusat sebagai bencana nasional.

Penggal Kepala
Dalam aksi penumpasan tahun 1967 tersebut, warga suku Dayak dibiarkan melakukan tindakan brutal dengan dalih mengemban tugas ne­gara. Kerusuhan bernuansa politis saat itu terbilang sa­ngat sadis, karena kepala manusia tidak berdosa dipenggal, kemudian diarak ramai-ramai, untuk selanjutnya diserahkan kepada pos aparat keamanan terdekat.

Sabtu (22/6) dan Minggu (23/6) lalu, tiga saksi sejarah yang ditemui SH secara terpisah mengungkapkan kisahnya. Simon Nyuaring (70) di Desa Nanga Kantuk, Kecamatan Ampanang; Apay Janggut alias Bandi (72) di Dusun Batang Utik, Desa Batu Lintang, Ke­camatan Embaloh Hilir; dan Pelda (Tituler) Celcum (73) di Dusun Mawang, Desa Sungai Mawang, Kecamatan Puring Kencana, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

Mereka mengakui budaya kekerasan berupa ngayau periode 1966-1982, terke­san dibiarkan pemerintah dan TNI. Ngayau merupakan tradisi suku Dayak di Kali­mantan. Dalam tradisi ngayau yang sesungguhnya, pemenggalan kepala musuh memang dilakukan. Meskipun hingga kini tidak ada satu pun analisis yang dapat menjelaskan secara pasti dan tepat makna yang tersembunyi dari tradisi ngayau. Ini lantaran ritual ngayau sedemikian kompleks dan misteriusnya.

Namun, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tradisi ngayau sangat penting bagi penggambaran citra kelompok Dayak yang merupakan salah satu identitas kesukuan.

Pangkat Tituler
Soemadi, mantan Pangdam XII/Tanjungpura, dalam bukunya berjudul Peranan Kali­mantan Barat dalam Menghadapi Subversi Komunis Asia Tenggara (Yayasan Tanjungpura, 1973), menggambarkan praktik ngayau di kalangan suku Dayak Iban menjadi kebanggaan tersendiri selama operasi penumpasan PGRS/ Paraku sehingga mesti diberi penghargaan dari Pemerintah dan TNI.

Selain penghargaan, Soemadi mengatakan para pelaku pengayauan dibawa ke Jakarta untuk diperkenalkan kepada sejumlah pejabat terkait, termasuk menemui Presiden Soeharto tahun 1972. Jumlahnya sebanyak 43 orang dan semua diberi pangkat militer tituler dan tunjangan penghasilan seumur hidup. Itu berarti, budaya ngayau selama operasi penumpasan PGRS/Paraku memang sengaja dihidupkan kembali oleh TNI.

Soemadi menuturkan, praktik partisipasi masyarakat dilukiskan sebagai Ope­rasi Ngayau di sekitar Nanga Bayan, Kecamatan Ketungau Hulu, Kabupaten Sintang. Nanga Bayan berbatasan langsung dengan wilayah Semarih, Sarawak. Soemadi menyebut Tumenggung Adat Dayak Iban banyak membantu TNI/Polri selama operasi penumpasan PGRS/Paraku di Nanga Bayan. Mereka di antaranya Tumeng­gung Acun, Tumenggung Megung, dan Tumenggung Yempal.

Dangih, Arih, dan Bayut pada 18 Februari 1971, berhasil memenggal kepala PGRS/ Paraku warga Sarawak bernama Liem Hung, Komandan Kelompok Satuan 117. Karena sebelumnya sudah memiliki hubungan baik, rombongan korban diperbolehkan menginap di pondok ladang milik Dangih. Atas instruksi TNI, pengintaian Dangih terhadap musuh sudah dilakukan sejak tanggal 15 Februari 1971.

Menurut keterangan Nyuaring, Cekum, dan Apay Jangkut, saat insiden terjadi Dangih bersama anak buahnya dengan sigap menebas leher Liem Hung dan Chauw Pien, karena meyakini senjata api laras panjang yang digunakan sudah dalam keadaan rusak. Sukses menebas leher Liem Hung dan Chau Pien, Dangih bersama anak buahnya sedianya akan membawa hidup-hidup dua perempuan anggota PGRS/Paraku lainnya bernama Fong Nie dan Siau Moi. Lantaran keduanya terus berteriak histeris ketika akan dibawa ke Pos TNI terdekat, akhirnya Fong Nie dan Siau Moi dibunuh seketika. Peng-galan kepala empat anggota PGRS/Paraku, yakni Liem Hung, Chau Pien, Fong Nie, dan Siau Moi dibawa rom­bongan Dangih ke Pos TNI terdekat. Mempertontonkan kepala manusia hasil buruan ini sebagai salah satu bentuk tradisi ngayau.

Ada pelaku ngayau lainnya, yakni Sinau yang sebelum­nya dicap TNI sebagai aktifis PGRS/Paraku di pedalaman Ke­camatan Batang Lupar, Kabu­paten Kapuas Hulu. Sinau bergabung dengan PGRS/Paraku, karena rumah betang kediamanan keluarganya di wila­yah pedalaman Kecamatan Ketungau Hulu, Kabupaten Sintang, rata dengan tanah diberondong pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). RPKAD berang karena warga di kediaman Sinau selalu komunikatif setiap didatangi militer Malaysia selama konfrontasL

Kampung Bejabang
Menurut Apai Janggut, Sinau hengkang ke wilayah Kampung Bejabang, Keca­matan Batang Lupar Kabu­paten Kapuas Hulu, dan selalu berhubungan secara diam-diam dengan belasan aktivis PGRS/Paraku ynng peta kekuatannya terns melemah. Gerak-gerik Sinau tercium RPKAD, sehingga dihadapkan pada posisi dilematis. Sinau diminta memperlihatkan ke­pala PGRS/Paraku yang sudah dipenggal jika ingin menyatakan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kalau tidak mau, Sinau diancam ditembak mati.

Di hadapkan kepada po­sisi sulit, Sinau mengatur siasat. Ia ditemani tiga warga local, mengajak aktivis PGRS/ Paraku, Santau dan Kabut, menebang pohon di hutan untuk dijadikan bahan rumah tempat tinggal. Ketika pohon sudah tumbang, kondisi dua anggota PGRS/Paraku lengah. Sinau dengan cekatan men­ebas leher lawan hingga putus pada 22 Oktober 1971. Usai melakukan aksinya, Sinau bersama tiga warga lokal lari meninggalkan tempat dan melapor kepada aparat TNI, bahwa dua pengikut Siem Kiem Phong, salah satu pentolan PGRS/Paraku, telah berhasil dihabisi.

Kepala Santau dan Kabut kemudian dibawa ke Lanjak, ibu kota Kecamatan Batang Lupar, untuk diperlihatkan kepada Pangdam XII/Tanjungpura Brigjen TNI Soemadi, Gubernur Kalimantan Barat Soe­madi, Danrem 121/Alambhana Wanawai Kol (Inf) Kadarasno, Danyon 324/Siliwangi Letkol (Inf) Abdul Hak. (Aju), Sumber Koran: Sinar Harapan (06 Juli 2013/Sabtu, Hal. 02)