Selasa, 10 September 2013

Perlukah TNI menambah Batalyon di Aceh?



Senin, 09 September 2013 | 11:2


Panglima TNI yang baru, Jenderal TNI Moeldoko menyatakan bahwa TNI akan menambah satu batalyon lagi di Aceh guna memantapkan  sistem pertahanan di Aceh. Pernyataan Panglima TNI tersebut disampaikan pada saat mendampingi kunjungan Menteri Pertahanan RI Purnomo Yusgiantoro ke Markas Lanal, Lhokseumawe, kamis Minggu lalu. Pada kesempatan tersebut, Panglima juga menambahkan bahwa TNI juga akan membangun Pangkalan Angkatan Laut sebagai pengembangan pangkalan yang sudah ada sekarang guna memperkuat sistem pertahanan.

Rencana Panglima TNI tersebut tentu mengundang berbagai reaksi dan tanggapan dari para tokoh dan masyarakat Aceh. Di antaranya ada yang menolak rencana Panglima tersebut yaitu mantan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf dan mantan eks kombatan GAM, Bakhtiar Abdullah. Keduanya berpendapat senada bahwa penambahan pasukan TNI ke Aceh melanggar MoU Helsinki dimana setelah pasukan non organik ditarik dari Aceh, maka jumlah pasukan TNI organik yang ada di Aceh maksimal berjumlah 14.700 personel dan polisi berjumlah maksimal 9100 personel.

Bagi saya, pernyataan kedua tokoh eks kombatan tersebut masuk akal jika dilandasi dengan MoU Helsinki 2005 lalu dimana pada MoU Helsinki BAB 4 Security Arrangement pasal 4.7 menyebutkan bahwa “The number of organic military forces to remain in Aceh after the relocation is 14700. The number of organic police forces to remain in Aceh after the relocation is 9100″ (Jumlah militer organik yang berada di Aceh setelah relokasi adalah 14.700 personel dan polisi berjumlah 9100 personel). Namun demikian, pernyataan keduanya menjadi absurd apabila dihadapkan dengan UUPA No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam UUPA ini tidak disebutkan berapa jumlah maksimal tentara yang ditempatkan dalam suatu daerah. Pada UUPA bab XXV pasal 202 disebutkan bahwa:

(1) Tentara Nasional Indonesia bertanggung jawab menyelenggarakan pertahanan negara dan tugas lain di Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Pertahanan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi memelihara, melindungi dan mempertahankan keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tugas lain di Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3) Pelaksanaan tugas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) seperti penanggulangan bencana alam, pembangunan sarana dan prasarana perhubungan, serta tugas-tugas kemanusiaan lain dilakukan setelah berkonsultasi dengan Gubernur Aceh.

(4) Prajurit Tentara Nasional Indonesia yang bertugas di Aceh tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip universal hak asasi manusia dan menghormati budaya serta adat istiadat Aceh.

Dalam pasal tersebut sangat jelas terjabarkan tugas dan tanggung jawab TNI dan kewajiban yang dimilikinya. Juga tidak disebutkan jumlah maksimal personel TNI yang diwajibkan sebagaimana tercantum dalam MoU Helsinki. Lalu pertanyaannya sekarang, dimanakah posisi MoU Helsinki sebenarnya dalam sistem hukum kita? Perlu diketahui bagi kita bersama, bahwa Memorandum of Understanding (MoU) atau pra-kontrak sebenarnya tidak dikenal dalam hukum konvensional di Indonesia, namun dalam prakteknya MoU sering digunakan sebagai bentuk kesepahaman yang digunakan oleh dua pihak yang saling berkaitan. Dalam Black’s Law Dictionary, MoU didefinisikan sebagai bentuk Letter of Intent yang artinya “Suatu pernyataan tertulis yang menjabarkan pemahaman awal pihak yang berencana untuk masuk ke dalam kontrak atau perjanjian lainnya, suatu tulisan tanpa komitmen/tidak menjanjikan suatu apapun sebagai awal untuk kesepakatan. Suatu Letter of Intent tidak dimaksudkan untuk mengikat dan tidak menghalangi pihak dari tawar-menawar dengan pihak ketiga. Pebisnis biasanya berarti tidak terikat dengan Letter of Intent, dan pengadilan biasanya tidak menerapkan salah satu, tapi pengadilan kadang-kadang menemukan bahwa komitmen telah dibuat/disepakati. Artinya; MoU merupakan pendahuluan suatu perikatan; isi materi yang memuat hal-hal pokok saja; MoU bersifat sementara/memiliki tenggat waktu; tidak dibuat secara formal sehingga tidak mengikat/kewajiban yang memaksa.

Dari pernyataan di atas, saya menyimpulkan bahwa UUPA No11 tahun 2006 merupakan kelanjutan/hasil penterjemahan MoU Helsinki sebagai tanggung jawab moral dan politik Pemerintah Indonesia setelah melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam MoU Helsinki tersebut. Selanjutnya, terkait dengan pernyataan Panglima TNI di atas, tentu penambahan pasukan TNI di Aceh sebagai bentuk langkah strategis Panglima dalam menjaga kedaulatan dan keutuhan NKRI sebagaimana tugas pokok yang dibebankan kepadanya dengan tetap berada dalam koridor UU TNI maupun UUPA. Panglima TNI tentu tidak akan mengambil keputusan hanya dengan dilandasi MoU yang tidak memberikan konsekuensi hukum apapun dalam sistem hukum Indonesia. Selain daripada itu, saya juga menilai adanya pertimbangan geo-strategis TNI di Aceh, “yang tampaknya telah mulai menyadari” letak geografis Aceh yang sangat strategis, sebagai pintu masuk menuju Selat Malaka (http://politik.kompasiana.com/2012/05/10/strategi-as-di-asia-pasifik-aceh-adalah-prioritas-461969.html).

Oleh karena itu, langkah strategis Panglima TNI tersebut saya nilai jauh lebih masuk akal daripada pernyataan-pernyataan para eks kombatan yang menolaknya, dimana Panglima TNI mengambil keputusan berlandaskan pada hukum yang berlaku dengan pertimbangan ancaman strategis yang mungkin tidak datang saat ini namun bisa jadi besok atau di masa yang akan datang sehingga sudah menjadi kewajibannya untuk menjawab ancaman tersebut dengan melakukan langkah-langkah antisipasi. Sementara itu, bagi para eks kombatan yang masih terpaku dalam MoU Helsinki, saya menyarankan untuk kembali mempelajari produk-produk hukum yang berlaku untuk menghindari kesalahan interpretasi dalam menterjemahkannya.